Lahir di Lamongan, Jawa Timur, Sonny Muchlison yang perancang busana itu, mengunjungi berbagai pelosok nusantara untuk mengamati kain, terutama yang jarang didapatkan di pasaran.
Dijumpai VOA, apa yang membuatnya tertarik mengangkat kain-kain Indonesia, pria berusia 60 tahun itu mengatakan, “Pertama memberi keyakinan kepada penduduk setempat bahwa kain mereka memang bagus dan layak untuk dipakai. Jadi saya mengajarkan mereka bagaimana merancang baju atas yang bagus, supaya bisa dipadankan dengan kain mereka yang bagus. Atau kain mereka yang diproduksi massal, bisa menjadi pakaian sehari-hari yang menyenangkan.”
Pengetahuannya yang luas tentang sejarah, produksi dan pewarnaan kain, membuat Dekranas dan berbagai lembaga terkait memintanya untuk mengajar di berbagai pelatihan bagi para perajin kain.
“Jadi untuk mengembalikan fitrah aslinya, garapan-garapan tradisi yang sebagian besar ditinggalkan oleh penduduk setempat,” tuturnya.
Oleh karena itu, Sonny sangat kecewa jika keaslian dan sifat alamiah kain-kain Indonesia itu “diselewengkan” menjadi produk massal dengan mengganti bahan dan mengubah teknik pewarnaannya agar harganya terjangkau masyarakat kebanyakan. Pertentangan antara segi ekonomi dan warisan budaya yang mengutamakan keaslian dalam membuat kain, terus mengganggu pikirannya.
Ia menuturkan kepada VOA, ketika ia mengunjungi Tanimbar, Maluku. Sonny melihat ada sekeluarga menenun dengan indahnya, tetapi ketika ia pegang kainnya, bahan benangnya bukan katun. Ternyata mereka dipasok oleh BI dengan benang rayon, sehingga hasil tenunan menjadi kendor.
“Saya diam, ngga bisa berbicara apapun. Warna-warnanya juga lebih menyala, saya malah tidak tertarik, karena saya selama ini antara nila dan mengkudu kalau dicampur warnanya menjadi hitam pekat kecoklatan yang eksotik. Itu malah yang dicari oleh bule-bule juga.”
Hal senada disampaikan Myra Widiono, Ketua Warlami (Warna Alam Indonesia), sebuah perkumpulan yang tetap mempertahankan pewarnaan kain tradisional Indonesia dengan bahan-bahan alami.
“Yang paling penting, setiap daerah itu memiliki lokalitas pewarnaan alam. Itulah kekayaan budaya kita. Warna alam yang banyak digunakan yaitu dari tanaman. Jadi kulit akar, kulit batang pohon, daun, kulit buah. Nah, bagaimana mencuci kain tenun dengan pewarna alami itu? Dengan soft detergent dan untuk lebih awet jangan kena matahari langsung,” ujar Myra.
Kiprahnya di dunia wastra membuat Sonny Muchlison terdorong untuk mengangkat hasil karya para perajin kain apapun, dari Sabang sampai Merauke. Selama puluhan tahun ini ia telah mengangkat berbagai kain tradisional, antara lain tenun Gedogan di Tuban, Bali; lurik di Solo; Tapis Lampung; Songket Pandaisikai di Sumatra Barat dan ulos di Tapanuli, dan masih banyak lagi.
“Mereka harus merasakan lebih dulu secara pribadi, kemudian bergiat lagi untuk membuat kain-kain itu. Dengan begitu nanti ada beberapa yang saya berikan contoh dari disain saya dan saya peragakan di depan mereka: Ini lho kain Anda yang tadinya begini, kalau saya angkat jadinya seperti ini,” tukasnya.
Rancangan Sonny Muchlison yang dipadukan dengan berbagai kain Indonesia itu dikenakan oleh para selebriti, influencer, dan pejabat yang masih mengutamakan keaslian warisan budaya nusantara. [ps/em]