Kebakaran hebat telah melanda tiga negara bagian di bagian barat Amerika Serikat, yaitu California, Oregon, dan Washington. Khususnya di California, kebakaran ini merupakan yang terparah sepanjang sejarah, menurut organisasi pemerintah, California Department of Forestry and Fire Protection (CAL Fire).
“Di langit ada matahari yang gelap dan berwarna merah, dan itu mengerikan sebetulnya. Ada bau asap dan juga udaranya tidak sehat untuk napas. Jadi kami semua di sini harus di rumah saja, karena pandemi, tapi juga karena udara, karena asap,” ujar warga AS, Andrea Decker, yang berdomisili di Los Angeles, California, kepada VOA Indonesia lewat wawancara virtual Teams.
Warga Indonesia, Yafi Fayruz yang berprofesi sebagai supervisor pelatih sepak bola di Los Angeles mengatakan telah beberapa kali menunda latihan terkait dengan kebakaran besar ini.
“Udaranya enggak aman untuk dihirup. Apalagi buat orang-orang yang ingin (olah raga di luar),” kata Yafi kepada VOA Indonesia.
Kebakaran hebat yang terjadi setiap tahun di California biasanya mulai terjadi antara bulan Mei hingga Desember. Selain faktor perubahan iklim, menurut situs California Department of Forestry and Fire Protection (CAL Fire), “musim semi dan musim panas dengan suhu yang lebih hangat, berkurangnya tumpukan salju, pencairan salju yang lebih awal di musim semi, dan musim kemarau parah,” membuat hutan lebih beresiko dilanda kebakaran.
Dilansir dari situs Cal Fire, hingga artikel ini dirilis, kebakaran kali ini telah menghanguskan lebih dari 1,6 juta hektar lahan, merusak lebih dari 10 ribu bangunan, dan sedikitnya 30 orang meninggal akibat kebakaran ini.
Tahun Pertama Jadi Pemadam
Di tengah perjuangan memberantas kebakaran yang luar biasa hebat di California, ada sosok pemadam kebakaran asal Indonesia, Muhammad Yulfiano Gerwynaldo atau akrab disapa Ano, yang ikut memadamkan kobaran api dan menyelamatkan nyawa. Tahun ini adalah pertama kalinya Ano terjun langsung secara resmi, sebagai pemadam kebakaran khusus untuk hutan di Amerika Serikat.
“Jadi di sini pemadam kebakaran ada yang khusus untuk gedung, structure fire fighters, sama pemadam kebakaran khusus untuk hutan,” papar Ano saat dihubungi VOA Indonesia melalui Skype.
Sebelumnya, Ano sudah pernah menjadi relawan pemadam kebakaran tak dibayar. Bantuan dari para relawan ini biasanya sangat dibutuhkan di kota-kota kecil yang hanya menerima sedikit anggaran dari pemerintah.
“Tapi walaupun volunteer pun, yang minat banyak. Karena mereka pengin punya experience itu untuk bisa ditaruh di resume,” jelas pria yang berdomisili di Los Angeles sejak 2007 ini.
Setiap negara bagian di Amerika Serikat memiliki persyaratan yang berbeda bagi para calon pemadam kebakaran, baik khusus gedung atau hutan. Di California, selain harus berusia minimum 18 tahun dan memiliki sertifikat pendididikan khusus, seorang pemadam kebakaran gedung juga harus memiliki sertifikat EMT (Emergency Medical Technicians) atau sebagai teknisi ambulans, petugas kesehatan yang bisa memberikan bantuan darurat.
Jika memiliki sertifikat sebagai paramedis, yaitu petugas kesehatan yang memiliki keahlian dalam memberikan bantuan darurat kepada pasien yang kritis, seorang pemadam kebakaran memiliki peluang yang lebih tinggi dalam mencari pekerjaan.
Ano sendiri pada waktu itu menuntut pendidikan dan pelatihan fisik, antara lain mendaki gunung, selama tiga bulan, di Rio Hondo Fire Academy, California. Walau pemadam kebakaran hutan tidak perlu memiliki sertifikat EMT atau paramedis, namun keahlian tersebut dapat berguna, mengingat lokasi kebakaran yang berada di atas gunung dan tidak ada rumah sakit.
Setelah melalui pendidikan dan berjuang mengikuti pelatihan yang intens, Ano pun resmi menjadi pemadam kebakaran khusus hutan sejak Juni 2020 lalu.
“Selama saya kenal Ano, kurang lebih 6 tahun belakangan ini, dia selalu ingin jadi pemadam kebakaran. Saya sangat senang melihat dia bekerja keras dan membuat impiannya menjadi kenyataan,” papar Amanda Chittara, salah seorang teman Ano di Los Angeles.
Digaji Hingga Rp. 878 Juta
Penghasilan untuk setiap pemadam kebakaran, baik untuk gedung maupun hutan, di Amerika Serikat pun berbeda, namun berkisar antara 40-60 ribu dolar per tahun atau setara dengan 585-878 juta rupiah per tahun. Semua tergantung dengan pangkat dan pengalaman masing-masing pemadam kebakaran.
“Tapi kalau kita (pemadam kebakaran hutan.red), dibayarnya lebih per-jam-an. Jadi kalau yang kerja di hutan, kita lebih rely on overtime, extra hours,” jelas lulusan Pasadena City College, di California, jurusan Fire Technology ini.
“(Kisarannya) dari 20 sampai 50 (dolar) per jam (292-732 ribu rupiah per jam.red),” tambahnya.
Sistem kerjanya pun berbeda. Sebagai pemadam kebakaran gedung, mereka terikat dengan jadwal kerja yang penuh waktu. Sedangkan sebagian besar pemadam kebakaran hutan, hanya bekerja sesuai panggilan di saat musim kebakaran, khususnya di musim panas, atau sekitar bulan Mei hingga Desember. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bagi Ano, untuk mendaftar sebagai pemadam kebakaran hutan yang bekerja penuh waktu di kemudian hari.
Kerja “Intens” 12-24 Jam
Jadwal kerja pemadam kebakaran hutan dan gedung pun juga sangat berbeda. Untuk yang khusus menangani gedung, biasanya mereka bekerja selama tiga hari, lalu mendapat libur selama dua hari, dan seterusnya.
“Kalau kita (pemadam kebakaran hutan.red) beda lagi. 14 hari kerja, 14 hari pulang,” kata pecinta olahraga bulu tangkis dan sepak bola ini.
Namun, Ano dan kru-nya harus siap jika terpaksa harus memperpanjang hari kerjanya hingga 21 hari jika dibutuhkan, setelah sebelumnya dilakukan pemeriksaan fisik. Jika ada yang merasa kelelahan atau sakit, maka secara langsung kru tersebut tidak diminta untuk lanjut kerja. Maka dari itu, sangatlah penting bagi para pemadam kebakaran ini untuk makan yang benar dan minum air putih yang banyak, agar tidak dehidrasi.
Jam kerjanya pun menurut Ano, cukup “intens,” mencapai minimum 12 jam sehari.
“Tapi yang terakhir ini, karena season kita sangat parah, minimum tuh 18 jam. Selalu 16 atau 18 jam. Pernah sangat sibuk, kayak 24 jam. Jadi dua hari kita sama sekali enggak ke (tempat kamp.red), jadi kita stay aja di atas (gunung.red),” ujarnya.
Ano menambahkan, tahun ini negara bagian California memang sangat “kewalahan” dan “sudah kehabisan tenaga” dalam menangani kebakaran hutan, hingga terpaksa memanggil pemadam kebakaran dari negara-negara bagian lain, seperti Illinois dan Texas.
Pikul Beban 27 Kg
Hari pertama setelah mendapat panggilan kerja, Ano biasanya mempersiapkan berbagai peralatan, seperti tempat air, bensin, selang air dan sebagainya, dan menaruhnya di truk untuk dibawa ke lokasi. Para pemadam dibekali pakaian khusus berbahan sangat tipis, namun tahan api, dan dilengkapi helm, sarung tangan, serta sepatu boot yang sangat berat dan tebal.
Khusus untuk pemadam kebakaran hutan memang tidak perlu memakai masker atau pun membawa tabung oksigen, mengingat mereka berada di lokasi yang terbuka dan harus mendaki gunung hingga 8 kilometer jaraknya. Masker dan tabung oksigen hanya dipakai oleh pemadam kebakaran gedung, mengingat lokasinya yang lebih tertutup.
“Jadi kita pakai backpack, isinya (perlengkapan) kita. Kebanyakan berat dari (perlengkapan) kita itu, air kita sendiri. Air untuk minum. Karena (selama) 18 jam, harus bawa minum kan,” katanya.
“Kita ada yang bawa kampak, ada yang bawa (gergaji). Kalau saya kebetulan pakai kampak yang panjang. Minimum, semua dari kita berat tasnya paling tidak 50-60 pound (22-27kg.red),” tambahnya.
Ikuti Protokol Kesehatan Pandemi
Memadamkan api dan menyelamatkan nyawa di tengah pandemi, Ano tetap harus mengikuti protokol kesehatan.
Meskipun tidak perlu memakai masker di atas gunung saat bekerja, ketika berada di perkemahan, ia harus tetap pakai masker dan menjaga jarak satu sama lain, mengingat banyaknya jumlah pemadam kebakaran di tempat itu yang datang dari berbagai negara bagian. Tempat cuci tangan khusus pun didirikan di area perkemahan.
“Kalau sudah di tempat kebakaran, semua kru punya kerjaan sendiri-sendiri,” katanya.
“Jadi kalau kita (bersama kru kita, masker masih pakai), tapi enggak sangat ketat dibandingkan kalau kita bertemu dengan kru lain. Kita kan tidurnya bareng, kita naik truknya truk yang sama,” tambahnya.
Tidur Dikelilingi Asap
Masih terngiang dalam ingatannya saat penugasannya yang ke-3, dimana kru-nya yang terdiri dari 20 orang, dipanggil untuk menangani kebakaran hutan tak jauh dari kota Azusa di California.
Pada waktu itu mereka menjadi salah satu kru darurat pertama yang hanya segelintir jumlahnya, yang hadir di lokasi kebakaran, mengingat pemadam kebakaran lain sudah terlanjur dikirim untuk menangani kebakaran di kota San Francisco.
“Hari pertama kita sampai sana, kita langsung kerja 36 jam,” jelasnya.
Kebakaran hutan yang dahsyat memaksa Ano dan kru-nya untuk tinggal di gunung, dan tidak kembali ke tempat perkemahan dan peristirahatan (Incident Command Post), yang lokasinya sekitar 10km dari tempat kebakaran. Hawa panas dari kobaran api, ditambah lagi dengan suhu udara yang panas pun dirasakannya.
“Kita benar-benar tidur di gunung. Hari pertama saya benar-benar tiduran di tengah-tengah gunung, berasap-asap. Ya, mau gimana lagi? Karena situasinya memang begitu kan,” ujarnya.
Rasa lelah dan kewalahan pun melandanya. Tanah gunung menjadi tempatnya untuk mengumpulkan tenaga sejenak, sebelum kembali melawan kobaran api. Memang bukan pilihan, terkadang ia pun hanya bisa merebahkan diri di atas tanah yang curam.
“Mau ke kanan asap, ke kiri asap. Posisi tidurannya sudah enggak terlentang, karena sudah benar-benar di tengah hutan. Jadi tidurannya sudah hampir kayak berdiri, terus berasap dan panas ya, kerasa banget. Apinya tuh sangat jauh, tapi radiasinya tetap kena,” paparnya.
Ketika Mental Diuji
Jam kerja yang panjang, kurang tidur, ditambah dengan pekerjaan yang luar biasa menguras tenaga, sempat membuat Ano putus asa dan berada di titik terberat.
“Saya tidur di tengah hutan, 36 jam. Hari pertama saya udah langsung kayak, ‘Oh, My God,’ sudah hampir kayak, give up gitu,” ceritanya.
Namun, dengan tekad dan kegigihannya, Ano berusaha bangkit dan menggunakan energi yang tersisa untuk berjuang.
“Mau enggak mau ya, memang hari kerja, jadi harus dikerjain terus. Karena, kebanyakan kalau capek kayak gini, (lebih ke mental). Hanya di kepala,” tegasnya.
Kebersamaan menjadi nomor satu. Untuk bisa bertahan dan selamat dalam bertugas, Ano dan rekan-rekannya selalu saling menyemangati dan mendorong satu sama lain.
“Kita merisikokan hidup kita, hidup di fire land gini, dengan orang yang sama. Kita istilahnya bukan teman lagi, kita sudah kayak kakak adik,” jelasnya.
Hampir Celaka, “Mungkin Saya Enggak di Sini”
Api yang berkobar hanyalah satu diantara banyak risiko yang harus Ano hadapi. Disamping risiko kesehatan, terkadang pemadam kebakaran hutan juga ditantang keberaniannya, ketika berhadapan dengan binatang liar dan buas yang banyak berkeliaran di hutan.
“Teman saya waktu itu lagi kerja. Tiba-tiba ada mountain lion (singa gunung.red), lagi lewat aja di depan. Kalau di terkam, ya udah,” cerita Ano.
Pernah saat tengah menjalani misi dan mendaki, Ano hampir tertimpa batu sebesar kepala, yang jatuh tepat dihadapannya.
“Kaki saya hampir kena hajar. Kalau teman saya enggak (teriak, ‘awas! Batu!), mungkin saya enggak di sini. Mungkin saya lagi di rumah sakit. Batunya sangat gede. Kalau kena kaki mungkin retak, sudah pecah,” ceritanya.
Tidak hanya itu, Ano pun dihadapi situasi yang sangat mencekam dan menyeramkan yang pernah ia alami. Saat tengah beristirahat dan tidur di atas gunung, ia terbangun dan seketika melihat api yang sudah berkobar setinggi dua lantai di depannya.
“Itu jam setengah 4 pagi mungkin ya. Tiba-tiba saya dengar suara kayak, ‘krecek-krecek’ gitu loh, kayak suara kayu. Pas bangun-bangun, (sekitar 6 meter) api lagi meledak di depan saya, pas lagi tidur. Wah, itu momen paling deket sama api yang pernah saya rasain. Itu api udah di depan muka banget,” katanya.
Ketegangan pun bertambah ketika mengetahui bahwa tidak ada air sama sekali yang tersedia untuk bisa memadamkan api tersebut.
“Selangnya memang sudah ada, tapi nggak ada airnya. Karena truk yang dibawah lagi enggak di pompa,” katanya.
“Lima menit airnya enggak sampai-sampai. Kita stres. Api sudah makin gede, sudah makin meledak. Akhirnya lima menit, airnya sampai juga. Akhirnya bisa kita padamin,” cerita Ano.
Hadapi Risiko, Demi Satu Orang
“Dari sejak kecil, aku tuh suka ngebantu orang,” begitulah papar Ano.
Hatinya selalu tergerak untuk membantu orang lain tanpa pamrih, bahkan memikirkan bayaran, yang adalah sebuah kepuasan tersendiri baginya.
Hingga suatu hari, ia dan krunya diminta untuk menyelamatkan sebuah kota yang sangat kecil di California bernama Crystal Lake, dimana hanya ada satu warga yang tinggal di sana bersama anjing piaraannya. Kota tersebut hanya memiliki satu toko serba ada kecil dan tujuh kabin, tempat para turis menginap, yang dimiliki oleh warga tersebut.
“Orang itu bilang, ‘oh, saya enggak sama kayak orang-orang lain. Saya enggak punya investments. Saya nggak punya saving. Duit saya semua ada di kota ini, untuk ngebikin cabin, ngebikin convenience store. Jadi kalau misalnya ini kebakaran, hidup saya selesai,’” cerita Ano.
Dengan tekad yang tinggi untuk menyelamatkan satu warga tadi dan kota tempat tinggalnya, akhirnya sekitar 50 petugas pemadam kebakaran, termasuk Ano, berhasil menyelesaikan misinya.
Sebagai tanda terima kasih, warga tadi membuka tokonya dan memperbolehkan para pemadam kebakaran untuk mengambil apa saja secara cuma-cuma, bahkan memasak, serta membuka tujuh kabinnya untuk mereka.
“Biasanya kan kita tidur di gunung ya, camping pakai tenda. Pas kita di situ, kita dikasih cabinnya, kayak hotel-hotel kecil,” kenang Ano.
“Kita ngerasa sangat senang gitu. Kita pulang ke rumah, ke Los Angeles, mengetahui bahwa kita telah membantu warga tadi, rasanya senang,” tambahnya.
Dukungan Teman dan Keluarga
Perjuangan Ano melawan kobaran api tidak sia-sia. Dirinya dinobatkan sebagai salah satu "local hero" oleh salah satu stasiun televisi lokal, ABC, di Los Angeles, atas segala jasanya dalam memberantas kebakaran hutandi California.
Dengan berbagai tantangan dan risiko yang harus dihadapi, Ano mengaku bisa menjalani semua ini, berkat dukungan dari keluarga dan teman-temannya. Kebetulan memang keluarga Ano juga tinggal di Los Angeles.
“Mama saya pernah bilang, ‘ini hidup pilihannya si Ano. Saya tidak bisa melakukan apa-apa (karena) ini adalah keinginan dia, yang bisa membuatnya bahagia,’” kata Ano.
Teriring doa sang Ibu setiap hari kepada Ano, yang terus menyemangati dalam menyelamatkan California.
“Setiap pagi aku kerja juga Mama selalu SMS, ‘Bismillah, sebelum kerja,” katanya.
Rasa bangga atas keberanian Ano dan juga krunya dalam “memberantas” dan “memperlambat penyebaran api tersebut juga ikut dirasakan oleh kakak Ano, Yafi Fayruz. Walau terkadang merasa cemas, mengingat jam kerja adiknya yang panjang dan tidak bisa menerima kabar saat Ano tengah bekerja, Yafi percaya bahwa ada “prosedur yang aman untuk Ano dan krunya.”
“Kita berdoa semoga tetap aman dan juga kebakaran ini segera usai,” tambah Yafi.
Setiap minggu dan bahkan setiap hari, tak lupa orang-orang terdekat Ano selalu menanyakan kabarnya. Hal ini sangat membantunya dalam menjalani hari-hari yang berat.
“Mengingat bahwa California adalah tempat sering terjadi kebakaran, khususnya tahun ini, saya sangat berterima kasih pada Ano. Dia mengambil risiko untuk membantu agar kita tetap aman, tidak hanya orang Indonesia, tapi juga seluruh warga California. Ano adalah orang yang sangat bisa diandalkan, suka membantu, ramah, dan saya bangga menjadi temannya,” ujar Amanda Chitarra.
Walau risikonya tinggi, Ano mengatakan tidak akan meninggalkan profesi yang ia cintai ini. Ia akan terus menjalaninya, semampu dirinya.
“Saya ingin membawa perubahan yang besar atau menyelamatkan jiwa.” [di/em]