Pemanasan global di abad mendatang dapat secara signifikan mengurangi jumlah salju yang mengeras di tanah pada musim dingin di wilayah pegunungan di belahan Bumi bagian utara, menurut sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change.
Salju yang mencair merupakan sumber air bersih yang penting, dan hilangnya salju tersebut dapat mengancam pasokan air minum, irigasi pertanian dan ekosistem alam liar.
Ahli iklim Universitas Stanford Noah Diffenbaugh memimpin penelitian tersebut, yang membandingkan kondisi salju di belahan Bumi utara pada akhir abad 20 dengan proyeksi model iklim untuk 100 tahun mendatang.
Proyeksi-proyeksi tersebut didasarkan pada serangkaian skenario yang melihat peningkatan suhu rata-rata global antara dua dan empat derajat Celsius.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa akumulasi salju rata-rata akan menurun di sebagian besar wilayah Amerika Serikat bagian barat, Eropa, Asia Tengah dan Himalaya, dibandingkan dengan pola-pola sejarah.
Penelitian tersebut memproyeksikan bahwa rendah dan sangat rendahnya curah salju akan terus menurun antara 10 sampai 20 persen dibandingkan akhir abad 20 dengan kenaikan suhu dua derajat.
“Jika planet memanas 4 derajat Celsius, Amerika akan mengalami akumulasi salju di tanah di bawah level akhir abad 20 sampai 80 persen,” ujar Diffenbaugh.
Di bagian lain belahan Bumi utara, tumpukan salju juga merupakan penyimpanan air yang alami dan kritis.
Studi tersebut menemukan bahwa pencairan salju pada awal musim semi akan membawa lebih banyak air ke daerah aliran sungai lebih cepat dari biasanya, bisa membuat sungai, danau dan bendungan meluap.
Dengan berkurangnya air yang tersedia pada musim ini, kemungkinan untuk terjadinya kebakaran lahan, hama dan kepunahan spesies meningkat.
Diffenbaugh mengatakan bahwa saat seperti itu akan memperburuk musim kering ketika permintaan untuk air paling tinggi.
“Kami dapat menyimpulkan bahwa jika perubahan iklim secara fisik terjadi di masa depan, akan ada dampaknya pada pasokan air untuk pertanian dan konsumsi manusia dan untuk ekosistem alami jika penyimpanan air dan sistem manajemen tidak disesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut,” ujarnya.
Menurut model iklim, hujan ekstrem dapat meningkat seiring kenaikan suhu Bumi. Namun, Diffenbaugh mengatakan, hal itu tidak akan mengubah respon tumpukan salju pada perubahan iklim.
“Bahkan jika ada kenaikan curah hujan ekstrem dalam model tersebut, ada penurunan yang tinggi untuk jumlah salju di atas tanah pada akhir musim dingin.”
California Alami Iklim Ekstrem
Frank Gehrke menganggap penelitian itu sangat serius. Ia mengepalai program Survei Salju Kooperatif California, yang memperkirakan aliran air dari pegunungan ke penampungan yang menyediakan air untuk tanaman dan manusia.
California hanya salah satu bagian dari gambaran besar yang dibahas dalam laporan tersebut. Karena curah hujan di negara bagian itu menurun pada musim semi dan musim panas, Gehrke mengatakan waktu mencairnya salju menjadi sangat kritis.
Ia mengatakan ia melihat variasi iklim yang lebih besar dari yang pernah ada sebelumnya.
“Kami memiliki ekstrem-ekstrem yang lebih banyak terkait musim dingin dan panas. Tidak hanya di sini, tapi juga dalam pembahasan dengan banyak orang yang mempelajari iklim,” ujarnya.
Gehrke mengatakan para pengelola air di California memerlukan alat pengukuran yang lebih baik dan foto-foto udara dengan resolusi lebih tinggi untuk tumpukan salju dibandingkan yang ada dalam penelitian di Standford. Untuk itu, negara bagian itu telah meminta bantuan dari lembaga antariksa AS, Observatorium Salju yang Dibawa Udara.
Terbang dengan ketinggian sekitar 7.000 meter, pesawat pengintai mengambil foto-foto tumpukan salju di gunung yang detail di wilayah yang luas, membuat para ilmuwan dapat menghitung volume air di daerah aliran sungai tertentu dengan lebih akurat.
Penerbangan NASA juga dapat mengukur berapa banyak sinar matahari yang dipantulkan oleh tumpukan salju tersebut, yang dapat mengindikasikan seberapa cepat ia dapat mencair.
Salju yang mencair merupakan sumber air bersih yang penting, dan hilangnya salju tersebut dapat mengancam pasokan air minum, irigasi pertanian dan ekosistem alam liar.
Ahli iklim Universitas Stanford Noah Diffenbaugh memimpin penelitian tersebut, yang membandingkan kondisi salju di belahan Bumi utara pada akhir abad 20 dengan proyeksi model iklim untuk 100 tahun mendatang.
Proyeksi-proyeksi tersebut didasarkan pada serangkaian skenario yang melihat peningkatan suhu rata-rata global antara dua dan empat derajat Celsius.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa akumulasi salju rata-rata akan menurun di sebagian besar wilayah Amerika Serikat bagian barat, Eropa, Asia Tengah dan Himalaya, dibandingkan dengan pola-pola sejarah.
Penelitian tersebut memproyeksikan bahwa rendah dan sangat rendahnya curah salju akan terus menurun antara 10 sampai 20 persen dibandingkan akhir abad 20 dengan kenaikan suhu dua derajat.
“Jika planet memanas 4 derajat Celsius, Amerika akan mengalami akumulasi salju di tanah di bawah level akhir abad 20 sampai 80 persen,” ujar Diffenbaugh.
Di bagian lain belahan Bumi utara, tumpukan salju juga merupakan penyimpanan air yang alami dan kritis.
Studi tersebut menemukan bahwa pencairan salju pada awal musim semi akan membawa lebih banyak air ke daerah aliran sungai lebih cepat dari biasanya, bisa membuat sungai, danau dan bendungan meluap.
Dengan berkurangnya air yang tersedia pada musim ini, kemungkinan untuk terjadinya kebakaran lahan, hama dan kepunahan spesies meningkat.
Diffenbaugh mengatakan bahwa saat seperti itu akan memperburuk musim kering ketika permintaan untuk air paling tinggi.
“Kami dapat menyimpulkan bahwa jika perubahan iklim secara fisik terjadi di masa depan, akan ada dampaknya pada pasokan air untuk pertanian dan konsumsi manusia dan untuk ekosistem alami jika penyimpanan air dan sistem manajemen tidak disesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut,” ujarnya.
Menurut model iklim, hujan ekstrem dapat meningkat seiring kenaikan suhu Bumi. Namun, Diffenbaugh mengatakan, hal itu tidak akan mengubah respon tumpukan salju pada perubahan iklim.
“Bahkan jika ada kenaikan curah hujan ekstrem dalam model tersebut, ada penurunan yang tinggi untuk jumlah salju di atas tanah pada akhir musim dingin.”
California Alami Iklim Ekstrem
Frank Gehrke menganggap penelitian itu sangat serius. Ia mengepalai program Survei Salju Kooperatif California, yang memperkirakan aliran air dari pegunungan ke penampungan yang menyediakan air untuk tanaman dan manusia.
California hanya salah satu bagian dari gambaran besar yang dibahas dalam laporan tersebut. Karena curah hujan di negara bagian itu menurun pada musim semi dan musim panas, Gehrke mengatakan waktu mencairnya salju menjadi sangat kritis.
Ia mengatakan ia melihat variasi iklim yang lebih besar dari yang pernah ada sebelumnya.
“Kami memiliki ekstrem-ekstrem yang lebih banyak terkait musim dingin dan panas. Tidak hanya di sini, tapi juga dalam pembahasan dengan banyak orang yang mempelajari iklim,” ujarnya.
Gehrke mengatakan para pengelola air di California memerlukan alat pengukuran yang lebih baik dan foto-foto udara dengan resolusi lebih tinggi untuk tumpukan salju dibandingkan yang ada dalam penelitian di Standford. Untuk itu, negara bagian itu telah meminta bantuan dari lembaga antariksa AS, Observatorium Salju yang Dibawa Udara.
Terbang dengan ketinggian sekitar 7.000 meter, pesawat pengintai mengambil foto-foto tumpukan salju di gunung yang detail di wilayah yang luas, membuat para ilmuwan dapat menghitung volume air di daerah aliran sungai tertentu dengan lebih akurat.
Penerbangan NASA juga dapat mengukur berapa banyak sinar matahari yang dipantulkan oleh tumpukan salju tersebut, yang dapat mengindikasikan seberapa cepat ia dapat mencair.