KATMANDU —
Pemandu Gunung Everest dari etnis Sherpa mempertimbangkan pemboikotan pendakian setelah terjadinya longsoran salju paling mematikan dalam sejarah gunung tersebut, sebuah langkah yang dapat mengganggu musim pendakian, menurut pejabat pendakian, Senin (21/4).
Beberapa pemandu telah mengundurkan diri sementara yang lainnya masih memutuskan apakah akan memboikot pendakian menyusul salju longsor Jumat, ujar Ang Tshering dari Asosiasi Pendakian Gunung Nepal.
Bencana itu menewaskan sedikitnya 13 pemandu Sherpa ketika sebongkah es jatuh dari gunung dan memicu longsor yang menimpa tim-tim pemandu yang membawa peralatan. Tiga Sherpa dirawat di rumah sakit setelah musibah tersebut dan pemandu lain hilang dan diperkirakan tewas.
"Setelah kehilangan banyak sekali saudara dan teman, mustahil bagi banyak pemandu untuk lanjut," ujar Pasang Sherpa, yang bukan termasuk dari mereka yang terkena longsor.
"Banyak dari kami yang takut, keluarga takut dan meminta kami kembali."
Semua korban berasal dari komunitas etnis Sherpa di Nepal, yang sangat bergantung dari industri trekking dan pendakian di negara itu, dan banyak yang bekerja sebagai pemandu pendakian atau menyediakan katering, restoran, peralatan atau transportasi.
Menyusul insiden tersebut, warga Sherpa mengungkapkan kemarahan karena kurangnya respon dari pemerintah Nepal, yang diuntungkan dari biaya izin ekspedisi pendakian.
Pemerintah telah mengumumkan bantuan darurat sebesar 40.000 rupees (US$415) untuk para keluarga korban jiwa. Para pemandu menghendaki peningkatan kompensasi bagi keluarga.
Pada Senin (21/4), Wakil Perdana Menteri Prakash Man Singh mengatakan pemerintah bekerja untuk membantu para Sherpa. "Tidak benar pemerintah tidak peduli," ujarnya. "Kami telah bekerja dengan para petugas penyelamat dari awal. Kami akan melakukan semua yang kami bisa, sesuai standar untuk menyediakan kompensasi."
Tshering mengatakan ada sekitar 400 pendaki asing dari 39 tim ekspedisi di gunung dan pemandu berjumlah sama, selain staf lainnya seperti tukang masak, pembersih dan porter di base camp. Tanpa pemandu, hampir mustahil bagi tim ekspedisi untuk melanjutkan pendakian.
Sherpa memperoleh pendapatan hingga $ 5.000 per musim untuk pekerjaan mereka yang melelahkan bagi klien mereka yang dapat menghabiskan puluhan ribu dolar dalam persiapan untuk pendakian.
Para pejabat Nepal mengatakan penghentian pekerjaan akan sangat mengganggu musim pendakian puncak Everest setinggi 8.850 meter, yang diperkirakan dimulai bulan depan.
Ratusan orang, baik orang asing maupun Sherpa, telah meninggal dunia dalam upaya meraih puncak tertinggi dunia itu. Sekitar seperempatnya tewas dalam salju longsor, menurut pejabat pendakian.
Bencana terbesar yang pernah tercatat di Everest adalah badai salju pada 11 Mei 1996 yang menewaskan delapan pendaki, termasuk pendaki terkenal Rob Hall, yang kemudian diabadikan dalam buku "Into Thin Air," oleh Jon Krakauer.
Lebih dari 4.000 pendaki telah mencapai puncak Everest sejak 1953, ketika gunung itu ditaklukkan oleh Edmund Hillary dari Selandia Baru dan warga Sherpa, Tenzing Norgay. (AP)
Beberapa pemandu telah mengundurkan diri sementara yang lainnya masih memutuskan apakah akan memboikot pendakian menyusul salju longsor Jumat, ujar Ang Tshering dari Asosiasi Pendakian Gunung Nepal.
Bencana itu menewaskan sedikitnya 13 pemandu Sherpa ketika sebongkah es jatuh dari gunung dan memicu longsor yang menimpa tim-tim pemandu yang membawa peralatan. Tiga Sherpa dirawat di rumah sakit setelah musibah tersebut dan pemandu lain hilang dan diperkirakan tewas.
"Setelah kehilangan banyak sekali saudara dan teman, mustahil bagi banyak pemandu untuk lanjut," ujar Pasang Sherpa, yang bukan termasuk dari mereka yang terkena longsor.
"Banyak dari kami yang takut, keluarga takut dan meminta kami kembali."
Semua korban berasal dari komunitas etnis Sherpa di Nepal, yang sangat bergantung dari industri trekking dan pendakian di negara itu, dan banyak yang bekerja sebagai pemandu pendakian atau menyediakan katering, restoran, peralatan atau transportasi.
Menyusul insiden tersebut, warga Sherpa mengungkapkan kemarahan karena kurangnya respon dari pemerintah Nepal, yang diuntungkan dari biaya izin ekspedisi pendakian.
Pemerintah telah mengumumkan bantuan darurat sebesar 40.000 rupees (US$415) untuk para keluarga korban jiwa. Para pemandu menghendaki peningkatan kompensasi bagi keluarga.
Pada Senin (21/4), Wakil Perdana Menteri Prakash Man Singh mengatakan pemerintah bekerja untuk membantu para Sherpa. "Tidak benar pemerintah tidak peduli," ujarnya. "Kami telah bekerja dengan para petugas penyelamat dari awal. Kami akan melakukan semua yang kami bisa, sesuai standar untuk menyediakan kompensasi."
Tshering mengatakan ada sekitar 400 pendaki asing dari 39 tim ekspedisi di gunung dan pemandu berjumlah sama, selain staf lainnya seperti tukang masak, pembersih dan porter di base camp. Tanpa pemandu, hampir mustahil bagi tim ekspedisi untuk melanjutkan pendakian.
Sherpa memperoleh pendapatan hingga $ 5.000 per musim untuk pekerjaan mereka yang melelahkan bagi klien mereka yang dapat menghabiskan puluhan ribu dolar dalam persiapan untuk pendakian.
Para pejabat Nepal mengatakan penghentian pekerjaan akan sangat mengganggu musim pendakian puncak Everest setinggi 8.850 meter, yang diperkirakan dimulai bulan depan.
Ratusan orang, baik orang asing maupun Sherpa, telah meninggal dunia dalam upaya meraih puncak tertinggi dunia itu. Sekitar seperempatnya tewas dalam salju longsor, menurut pejabat pendakian.
Bencana terbesar yang pernah tercatat di Everest adalah badai salju pada 11 Mei 1996 yang menewaskan delapan pendaki, termasuk pendaki terkenal Rob Hall, yang kemudian diabadikan dalam buku "Into Thin Air," oleh Jon Krakauer.
Lebih dari 4.000 pendaki telah mencapai puncak Everest sejak 1953, ketika gunung itu ditaklukkan oleh Edmund Hillary dari Selandia Baru dan warga Sherpa, Tenzing Norgay. (AP)