Ekoturisme atau wisata dengan memanfaatkan lingkungan alam sebagai objeknya – seperti pemanfaatan ekosistem hutan bakau – menjadi salah satu konsep yang mampu menopang perekonomian masyarakat, terutama di wilayah pesisir. Ahli Peneliti Madya Pusat Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Endang Karlina mengatakan untuk membuat suatu kawasan ekoturisme mangrove ada tahapan perencanaan yang harus dilakukan.
"Ada prinsip yang memiliki keterkaitan dengan konsep konservasi dan ekoturisme. Memiliki kepedulian terhadap lingkungan berbasis pengelolaan ekosistem, perencanaan, dan dapat memberikan manfaat," kata Endang dalam diskusi daring bertema Pentingnya Keanekaragaman Hayati Ekosistem Mangrove, Rabu (10/6).
Lanjut Endang, hutan bakau memiliki sejumlah potensi yang mampu mendongkrak ekoturisme di wilayah pesisir seperti keanekaragaman primata, jenis burung dan biota air, dan suguhan panorama. Memperkenalkan jenis tumbuhan mangrove hingga pendidikan konservasi lingkungan, menurutnya, akan menjadikan kawasan hutan bakau berpotensi sebagai objek daya tarik ekoturisme. "Itulah yang memang bisa kita bentuk potensi-potensi objek dapat dikembangkan di ekosistem mangrove," ujarnya.
Namun dibutuhkan sedikitnya 10 kriteria dalam pengembangan kelayakan ekosistem mangrove untuk menjadikan suatu kawasan hutan bakau sebagai objek ekoturisme dan akhirnya menarik wisatawan, seperti aksebilitas menuju objek, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar, moda transportasi serta akomodasi, dan manajemen pengelolaan.
Harus dipikirkan pula, ujar Endang, sarana prasarana penunjang, ketersediaan air bersih di dalam kawasan wisata, hubungan dengan lokawisata sekitar, nilai daya dukung, dan keamanan kawasan juga dibutuhkan untuk pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan bakau. "Kriteria ini menjadikan sesuatu yang memang dinyatakan layak, dan kita mampu mempromosikannya," tambahnya.
Lebih lanjut, masih kata Endang, pengembangan ekoturisme di kawasan ekosistem hutan bakau juga harus mengatur jumlah pengunjung yang diizinkan datang dan menerapkan pola wisata ramah lingkungan terhadap adat budaya setempat. "Membantu secara langsung perekonomian yang mengangkat nilai manfaat ekonomi masyarakat dan modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar," ungkapnya.
Pengembangan Ekoturisme Harus Punya Manfaat Ekonomi yang Jelas
Nyoman Suryadiputra dari Yayasan Lahan Basah Indonesia yang juga hadir dalam diskusi tersebut menuturkan bahwa kegiatan seperti pengembangan ekoturisme harus memiliki manfaat ekonomi yang menguntungkan untuk masyarakat dan lingkungan. "Jadi bukan hanya sekadar instruksi atau proyek setelah itu ditinggalkan. Biasanya itu tidak bertahan lama," tuturnya.
Sementara itu, aktris sekaligus founder Seasoldier, Nadine Chandrawinata mengatakan kawasan ekosistem hutan bakau kerap dihadapkan dengan persoalan sampah. Bahkan menurutnya persoalan sampah menjadi kendala setiap kali pihaknya melakukan kegiatan konservasi di kawasan hutan bakau.
"Awalnya mau menanam mangrove berubah programnya menjadi membersihkan hutan bakau. Tiap kali kami datang ke kawasan mangrove itu sampahnya tidak pernah hilang. Jadi itu kendala dari Seasoldier yang tujuannya ingin memperluas area mangrove terhambat," katanya.
Dalam kesempatan yang sama Duta Besar Indonesia untuk Jerman yang juga pakar hukum laut Indonesia, Arif Harvas Oegroseno mengatakan hutan bakau belum terlalu mendapat perhatian khusus di tingkat global. Padahal kawasan hutan bakau merupakan bagian penting bagi sebuah negara karena menyangkut teritorial. "Jarang sekali diskusi yang berbicara mengenai mangrove sebagai bentuk suatu pertahanan pesisir untuk menghadapi kemungkinan negara kehilangan kawasan," ucapnya.
Luas hutan bakau di Indonesia saat ini mencapai 3,3 juta hektar, yang tersebar di 257 kabupaten/kota. Menurut laman resmi KLHK, hanya 48 persen hutan bakau yang kondisinya masih dalam keadaan baik, sedangkan sisanya dalam kondisi sedang atau rusak.
Kemudian, setiap tahunnya 200 ribu hektare mangrove di Indonesia mengalami penurunan kualitas. Penyebabnya antara lain adalah deforestasi ekosistem pesisir, reklamasi, penurunan kualitas air, polusi, praktik budidaya yang tidak berkelanjutan serta eksploitasi kehidupan laut. [aa/em]