Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai pengajuan Surat Presiden tentang RUU TNI dan RUU Polri menunjukan bahwa pemerintah dan DPR mengabaikan kritik dan masukan dari masyarakat sipil untuk tidak melanjutkan pembahasan kedua RUU tersebut. Langkah itu dinilai sebagai bentuk pemaksaan dan pengabaian partisipasi publik mengingat masa bakti DPR periode 2019-2024 tidak lama lagi akan berakhir.
Substansi usulan perubahan dalam kedua RUU itu dinilai memiliki sejumlah persoalan serius yang dikhawatirkan akan memundurkan agenda reformasi TNI dan Polri, tambah Gufron. Alih-alih mendorong perbaikan dan menjadikan TNI dan Polri lebih profesional, sebagian usulan perubahan yang disampaikan justru akan membuat kedua institusi itu semakin menjauh dari kepentingan dan mandat reformasi.
Untuk itu, kata Gufron, IMPARSIAL akan mendesak DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU TNI dan RUU Polri pada sisa masa kerja mereka.
Perluasan Kewenangan Polri dan Urgensinya
Dalam diskusi di Jakarta, Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Indonesia Prof. Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan sesuai UU No. 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri), fungsi kepolisian adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pemngayoman, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat. Namun, beberapa usul perubahan dalam rumusan revisi UU Polri justru memperluas kewenangan Polri, yang sebelumnya tidak ada dalam UU No.2 Tahun 2022 itu.
Perluasan kewenangan yang ada dalam Pasal 14 RUU Perubahan UU Polri itu mencakup “kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan ruang siber.” Padahal, menurut Harkristuti, definisi ruang siber itu sangat luas sehingga berpotensi membuat polisi melakukan penegakan hukum tanpa batas.
"Jadi kalau kita melihat rumusannya sangat luas, buat saya perlu dibatasi. Jangan sampai menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan publik. Jadi perlu dicatat dengan teliti sejauh mana irisan dengan (kewenangan) Kementerian Komunikasi dan Informasi," katanya.
Kewenangan Baru pada Polri, Tanpa Aturan Tambahan
Perluasan kewenangan Polri lainnya yang dikritik publik adalah dalam “melaksanakan kegiatan intelijen dan keamanan, memberikan bantuan dan perlindungan serta kegiatan lainnya demi kepentingan nasional.”
Juga kewenangan untuk melakukan penyadapan dalam ruang lingkup tugas polisi sesuai UU yang mengatur tentang penyadapan; memberi kewenangan pada aparat kepolisian untuk menindak, memblokir, memutus, atau memperlambat akses untuk tujuan keamanan dalam negeri; juga untuk memeriksa aliran dana dan menggali informasi; serta menerbitkan atau mencabut daftar pencarian orang dan menangani tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif.
Prof. Harkristuti Harkrisnowo, yang telah menggeluti dunia hukum selama puluhan tahun, menekankan pentingnya merumuskan batasan kewenangan, terutama dalam hal-hal yang belum diatur seperti penyadapan, atau merambah kewenangan lembaga lain, atau kewenangan yang dapat mengingkari hak warga negara yang paling mendasar yaitu kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Soroti RUU TNI
Ketua YLBHI Muhammad Isnur, yang menyoroti RUU TNI, mengatakan pemerintah dan DPR harus menganalisis dengan tepat dan mendalam substansi RUU ini karena ada beberapa pasal yang “membahayakan” Indonesia ke depan mulai dari sisi keamanan, hubungan antarkelembagaan, perlindungan hak asasi manusia hingga ruang demokrasi.
“Jokowi harusnya berpikir apa yang dilakukan adalah legacy, warisannya. Kalau Jokowi segera mengesahkan dan mengirim surpres (surat presiden -red) berarti Jokowi tidak mempertimbangkan dengan baik aspek-aspek kebutuhan demokratisasi di Indonesia. Aspek-aspek yang membawa jurang kehancuran bagi TNI itu sendiri,” ungkap Isnur.
Beberapa hal yang dinilai bermasalah dalam RUU Perubahan UU TNI itu adalah soal perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara, yang menurut Isnur berpotensi digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai menjadi ancaman negara.
Juga soal perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif dari 10 menjadi 18 jabatan, termasuk Staf Presiden, Kemenko Maritim dan Investasi, Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, Badan Penanggulangan Terorisme, Badan Penanggulangan Bencana, dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan. YLBHI menilai perluasan ini akan melemahkan profesionalisme TNI yang tidak lagi fokus pada tugas militer semata.
Perluasan dan penambahan jenis operasi militer selain perang, yang meningkat 14 menjadi 19 jenis operasi militer; juga perpanjangan usia pensiun prajurit dari 58 tahun menjadi 60 tahun, adalah hal lain yang juga disorot sejumlah organisasi sipil seperti YLBHI dan SETARA Institute.
Dua Pasal Baru Dinilai “Memutarbalikkan Arah Reformasi Militer”
SETARA Institute secara khusus juga menyoroti Pasal 39 soal penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini. “Usulan perubahan pada dua pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat,” tegas SETARA dalam pernyataan tertulisnya.
Ditambahkannya, “Usulan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran (regresi) profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersiil bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara.”
“Meskipun tidak berkaitan dengan politik praktis secara langsung, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer. Dampak jangka panjangnya menimbulkan hutang budi politik karena semua ruang-ruang Kementerian/Lembaga (K/L) tersebut dibuka berdasarkan kebijakan Presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam Pemilihan Umum,” tegas SETARA Institute.
RUU Inisiatif DPR
Istana Kepresidenan menekankan bahwa revisi UU TNI-Polri, revisi Kementerian Negara dan revisi UU Imigrasi merupakan RUU inisiatif DPR. Staf Presiden bidang hukum, Dini Purwono mengatakan tidak tahu persis dinamika proses pembahasan revisi UU tersebut, termasuk soal pasal yang dikhawatirkan masyarakat sipil.
Pemerintah, tambahnya, selalu terbuka untuk menerima masukan dari masyarakat guna memastikan partisipasi yang bermakna dalam penyusunan legislasi.
DPR Bersikeras Revisi UU TNI-Polri Penting
Sementara Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya melihat asas keadilan meskipun revisi UU TNI-Polri mendapat kritik dari publik. Dia mengatakan substansi utama soal masa usia pensiun, misalnya, sudah dilakukan terlebih dahulu beberapa tahun lalu ketika lembaganya merevisi Undang-Undang Kejaksaan.
Secara terpisah sejumlah organisasi masyarakat madani, antara lain IMPARSIAL, YLBHI dan SETARA Institute mendesak agar DPR menangguhkan pembahasasan revisi kedua undang-undang itu dan “memperluas partisipasi bermakna publik, para pakar, akademisi dan masyarakat sipil.” [fw/em]
Forum