Swedia hari Senin (4/1) memberlakukan aturan pembatasan baru di jembatan Oresund (Ohr-reh-sund) yang terhubung ke Denmark sebagai upaya membendung arus migran gelap. Ini merupakan tanda-tanda tekanan terbaru bagi kebijakan perbatasan bebas, tanpa paspor di Zona Schengen yang mencakup 26 negara. Mark Rhinard, profesor jurusan Politik Eropa di Stockholm University, mengatakan kepada VOA bahwa aturan pembatasan baru untuk menggunakan paspor itu mempengaruhi aktivitas ratusan ribu orang yang melintasi perbatasan tersebut setiap hari.
VOA: Apakah ada kemunduran di wilayah Uni Eropa?
MARK RHINARD: Sebenarnya dalam banyak hal, pada tahun 80-an negara-negara Eropa menyadari bahwa sebagai negara yang relatif kecil mereka kehilangan banyak manfaat ekonomi, manfaat sosial lainnya karena terlalu banyak perbatasan. Mereka lalu memutuskan mengakhiri perbatasan tersebut. Kini dengan adanya krisis migrasi dari Afrika Utara dan Timur Tengah, mereka menyadari perlu memberlakukan kembali beberapa perbatasan. Benar, dalam beberapa hal, kita mengalami kemunduran karena krisis ini.
VOA: Apakah ini dampak dari serangan di Paris, tatkala Perancis menyatakan keadaan darurat, dan meningkatkan keamanan di daerah perbatasannya sendiri, punya kaitan dengan soal ini?
MARK RHINARD: Ini menunjukkan adanya hubungan antara krisis migrasi dengan masalah kekhawatiran keamanan akibat terorisme, tapi itu masih belum banyak menjelaskan. Masalahnya masih disebabkan jumlah orang yang sangat besar, sesuatu yang tidak pernah kita alami sejak lebih dari enam puluh atau tujuh puluh tahun lalu ketika terjadi migrasi besar-besaran dari Eropa selatan ke Eropa utara dan itu sangat membebani negara-negara yang menjadi tujuan mereka. Serangan di Paris memang memicu perbandingan dengan situasi tersebut, tapi situasinya memang tidak seberat negara-negara Eropa utara yang kewalahan dengan arus migrasi pada waktu itu.
VOA: Ada upaya memberi tanggapan bersama ketika masalah migrasi ini dimulai. Kini, beberapa negara anggota Uni Eropa melakukan hal yang berbeda, yang bertentangan dengan gagasan dan tujuan Uni Eropa. Seorang analis menunjukkan negara-negara itu bersikap tegas dan mengatakan keamanan lebih penting dibanding perbatasan terbuka.
MARK RHINARD: Para pemimpin Eropa, dalam banyak hal, sama dengan pemimpin di dunia manapun. Mereka cenderung berpikir untuk jangka pendek dan bukan jangka panjang. Sehubungan dengan gerakan perbatasan terbuka yang mulai diberlakukan pada awal tahun 90-an, pada waktu itu, negara-negara Eropa lebih memikirkan manfaat yang bisa diambil dari hal tersebut. Mereka lebih berpikir tentang peningkatan perdagangan, peningkatan daya saing ekonomi yang akan membentuk pasar internal di mana orang-orang dapat menyediakan jasa layanan lintas perbatasan. Mereka tidak benar-benar berpikir tentang kesalahan yang mungkin terjadi dari peraturan itu. Mereka tidak mau memikirkan hal itu, mereka tidak ingin berpikir tentang isu-isu jangka panjang. Mereka dihadapkan dengan pertanyaan isu tersebut pada waktu itu, dikatakan: apa yang terjadi jika ada migrasi besar-besaran, apa yang terjadi jika teroris bergerak dengan mudah melintasi perbatasan sebagai wisatawan ? Mereka tidak benar-benar mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi isu tersebut pada waktu itu dan kini mereka menanggung akibatnya.
Akibat dari semua ini, menurut professor Rhinard, adalah pemberlakukan kembali peraturan perbatasan nasional. Ia juga mengatakan seharusnya pada saat itu, mereka membentuk peraturanperbatasan eksternal yang lebih kuat dan peraturan bersama mengenai pencari suaka. Rhinard mengatakan, arus masuk migran dan pengungsi sekarang ini relatif kecil dan bukan ancaman terhadap budaya Eropa. Ia yakin beban ekonomi yang semakin berat akibat pemberlakuan kembali peraturan perbatasan akan memberi tekanan terhadap pemerintah untuk melonggarkan kembali peraturan tersebut. [zb/al]