YOGYAKARTA —
Prestasi pengungkapan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tidak diimbangi oleh kecukupan personelnya, sehingga banyak kasus yang terhambat penanganannya.
Selama ini KPK lebih banyak menangani kasus-kasus korupsi di tingkat pusat, padahal masih begitu banyak kasus korupsi di daerah yang tidak tertangani dengan baik, karena kepolisian dan kejaksaan belum bekerja maksimal. Sementara KPK hanya memiliki 1.200 staf, dengan 89 penyidik.
Karena kondisi itulah, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, ide pembukaan kantor perwakilan KPK di daerah adalah langkah yang masuk akal.
Busyro mengatakan, pentingnya kehadiran KPK di daerah karena era otonomi justru telah melahirkan raja-raja korupsi di daerah. KPK dengan bantuan perguruan tinggi harus mempertimbangkan secara cermat, di daerah mana saja perwakilan ini pertama kali akan dibuka.
“Trigger yang dilakukan KPK itu tetap mengalami keterbatasan, dan kembali pada ide perwakilan ini. Kalau ada prioritas di beberapa daerah, saya kira tiga daerah saja cukup. Tapi kita juga masih perlu untuk melakukan riset, kira-kira daerah mana yang paling besar korupsinya. Kalau dari sektor tambang, itu 12 provinsi bermasalah semuanya,” ujarnya pada sebuah diskusi di Yogyakarta, Jumat pagi (28/3).
“Kendalanya di SDM, terutama jumlahnya. Idealnya di KPK ini mestinya tahun ini sudah punya lima ribu staf, tetapi tidak mungkin karena berbagai faktor. Bukan hanya anggaran tetapi juga menyeleksi SDM untuk mencari yang terpilih sesuai standar KPK itu juga susah.”
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito dalam diskusi ini juga menilai, sudah saatnya KPK membuka kantor perwakilan di daerah. Tingkat korupsi yang justru semakin tinggi, menurutnya, menjadi alasan utama yang mendorong langkah ini perlu dilakukan secepatnya.
Perguruan tinggi, kata Arie harus membantu KPK sepenuhnya dalam merealisasikan program ini.
“Mungkin nanti tantangan terbesar buat kita, kalau kita lihat dengan relevansi bahwa KPK harus di daerah itu adalah faktor pengait. KPK memang penting untuk hadir di daerah,” ujarnya.
“Mekanismenya apakah secara kelembagaan atau bagaimana, tetapi poin kuncinya adalah kita bisa membuat roadmap dengan pilot project di beberapa daerah, apakah itu berdasar kasus atau kapasitasnya dulu. Nah, perguruan tinggi harusnya terpanggil telebih dahulu untuk membantu proses semacam ini, karena korupsi di Indonesia semakin akut.”
Ekonom UGM, Rimawan Pradipto mengatakan, kehadiran KPK menjadi lebih penting karena kasus korupsi di daerah akan semakin rumit, terutama dari sisi pengelolaan keuangan.
Kepolisian dan Kejaksaan selama ini lemah dalam penanganan kejahatan korupsi, karena dibutuhkan kemampuan yang lebih. Kehadiran KPK di daerah, kata Rimawan, akan memaksa lembaga penegak hukum lain untuk belajar lebih cepat, modus-modus korupsi baru dan upaya penanganannya.
“Jadi kalau kita lihat, potensi ketika KPK ditambah, bukan berarti kemudian melemahkan kepolisian dan kejaksaan, bukan. Justru memperkuat, karena mereka juga akan terpacu untuk meningkatkan kinerja mereka,” ujarnya.
Selama ini KPK lebih banyak menangani kasus-kasus korupsi di tingkat pusat, padahal masih begitu banyak kasus korupsi di daerah yang tidak tertangani dengan baik, karena kepolisian dan kejaksaan belum bekerja maksimal. Sementara KPK hanya memiliki 1.200 staf, dengan 89 penyidik.
Karena kondisi itulah, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, ide pembukaan kantor perwakilan KPK di daerah adalah langkah yang masuk akal.
Busyro mengatakan, pentingnya kehadiran KPK di daerah karena era otonomi justru telah melahirkan raja-raja korupsi di daerah. KPK dengan bantuan perguruan tinggi harus mempertimbangkan secara cermat, di daerah mana saja perwakilan ini pertama kali akan dibuka.
“Trigger yang dilakukan KPK itu tetap mengalami keterbatasan, dan kembali pada ide perwakilan ini. Kalau ada prioritas di beberapa daerah, saya kira tiga daerah saja cukup. Tapi kita juga masih perlu untuk melakukan riset, kira-kira daerah mana yang paling besar korupsinya. Kalau dari sektor tambang, itu 12 provinsi bermasalah semuanya,” ujarnya pada sebuah diskusi di Yogyakarta, Jumat pagi (28/3).
“Kendalanya di SDM, terutama jumlahnya. Idealnya di KPK ini mestinya tahun ini sudah punya lima ribu staf, tetapi tidak mungkin karena berbagai faktor. Bukan hanya anggaran tetapi juga menyeleksi SDM untuk mencari yang terpilih sesuai standar KPK itu juga susah.”
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito dalam diskusi ini juga menilai, sudah saatnya KPK membuka kantor perwakilan di daerah. Tingkat korupsi yang justru semakin tinggi, menurutnya, menjadi alasan utama yang mendorong langkah ini perlu dilakukan secepatnya.
Perguruan tinggi, kata Arie harus membantu KPK sepenuhnya dalam merealisasikan program ini.
“Mungkin nanti tantangan terbesar buat kita, kalau kita lihat dengan relevansi bahwa KPK harus di daerah itu adalah faktor pengait. KPK memang penting untuk hadir di daerah,” ujarnya.
“Mekanismenya apakah secara kelembagaan atau bagaimana, tetapi poin kuncinya adalah kita bisa membuat roadmap dengan pilot project di beberapa daerah, apakah itu berdasar kasus atau kapasitasnya dulu. Nah, perguruan tinggi harusnya terpanggil telebih dahulu untuk membantu proses semacam ini, karena korupsi di Indonesia semakin akut.”
Ekonom UGM, Rimawan Pradipto mengatakan, kehadiran KPK menjadi lebih penting karena kasus korupsi di daerah akan semakin rumit, terutama dari sisi pengelolaan keuangan.
Kepolisian dan Kejaksaan selama ini lemah dalam penanganan kejahatan korupsi, karena dibutuhkan kemampuan yang lebih. Kehadiran KPK di daerah, kata Rimawan, akan memaksa lembaga penegak hukum lain untuk belajar lebih cepat, modus-modus korupsi baru dan upaya penanganannya.
“Jadi kalau kita lihat, potensi ketika KPK ditambah, bukan berarti kemudian melemahkan kepolisian dan kejaksaan, bukan. Justru memperkuat, karena mereka juga akan terpacu untuk meningkatkan kinerja mereka,” ujarnya.