(AP) - Tersangka pelaku pemboman dalam konser maut di kota Manchester didorong oleh apa yang dilihatnya sebagai perlakuan tidak adil terhadap orang-orang Arab di Inggris, menurut seorang kerabatnya pada hari Kamis (25/5). Kerabat itu juga mengkonfirmasikan bahwa tersangka Salman Abedi melakukan kontak terakhir melalui telepon di mana ia mengatakan, "Maafkan saya".
Salman Abedi sangat kecewa dengan pembunuhan seorang perempuan Muslim tahun lalu yang kematiannya dia percaya tidak diketahui oleh "orang-orang kafir" di Inggris, kata seorang perempuan kerabat Abedi tersebut, yang tidak mau disebutkan namanya demi alasan keamanan.
"Mengapa tidak ada kemarahan (publik) atas pembunuhan terhadap seorang Arab dan seorang Muslim dengan cara yang sangat kejam?" tanyanya.
"Kemarahan adalah alasan utama," bagi terjadinya ledakan yang menewaskan 22 orang pada akhir konser penyanyi Ariana Grande di Manchester Arena pada hari Senin (22/5), kata kerabat itu melalui telepon dari Libya.
Informasi baru tentang motivasi Salman Abedi itu muncul pada saat warga Inggris menghadapi pemeriksaan keamanan yang meningkat. Pihak berwenang melakukan berbagai penggerebekan dan penyelidikan ke seluruh Eropa dan Libya, di mana sebagian besar keluarga tersangka yang dicurigai sebagai pembom Manchester itu tinggal.
Pihak berwenang juga menyelidiki kemungkinan hubungan antara Salman Abedi dan kelompok militan di Manchester, tempat-tempat lainnya di Eropa, di Afrika Utara dan Timur Tengah. Mereka menyelidiki hubungan potensial tersangka dengan Abdalraouf Abdallah, seorang warga Libya yang dipenjara di Inggris karena serangan teror, dan juga kaitannya dengan Raphael Hostey, seorang perekrut kelompok teror ISIS yang terbunuh di Suriah.
Keluarga Abedi juga tetap menjadi fokus penyelidikan, di mana seorang saudara laki-lakinya di Inggris, ayahnya dan saudara laki-laki lainnya di Libya termasuk di antara mereka yang telah ditahan. Ayah Abedi diduga anggota kelompok pejuang Islam Libya yang didukung al-Qaida pada tahun 1990an - namun klaim itu dibantah olehnya.
Sebelum terjadinya pemboman, Salman Abedi memiliki pandangan yang memicu kekhawatiran dari komunitas Muslim di mana ia menjadi anggotanya.
Akram Ramadan, anggota komunitas Muslim Libya di kota Manchester yang menghadiri Masjid Didsbury di kota tersebut, mengatakan bahwa Abedi dilarang masuk masjid setelah dia menginterupsi khotbah seorang Imam yang mengecam kelompok militan ISIS.
"Dia (Abedi) berdiri dan mulai memaki Imam tersebut- 'Anda berbicara omong kosong. Dia juga melotot ke arah Imam, dengan tatapan yang mengancam," kata Ramadan mengisahkan peristiwa yang terjadi di masjid tersebut.
Mohammed Fadl, seorang pemimpin masyarakat setempat menyangkal cerita itu, dan mengatakan, walaupun keluarga Abedi terkenal di Manchester, Salman Abedi sendiri jarang menghadiri pertemuan masyarakat.
Fadl menambahkan bahwa dia mendengar ayah Abedi mengambil paspor anaknya, karena kekhawatiran tentang hubungannya dengan tersangka ekstremis dan penjahat.
"Sangat sedikit anggota masyarakat yang dekat dengannya, dan karena itu fanatisme Salman Abedi tidak banyak diketahui oleh masyarakat," katanya.
Ahmed bin Salem, juru bicara pasukan khusus di Libya, mengatakan bahwa Abedi melakukan kontak telepon terakhirnya untuk menghubungi Ibu dan saudara laki-lakinya. Kerabat Abedi mengatakan bahwa dia hanya berbicara dengan saudaranya, dan meminta agar pesannya disampaikan kepada ibunya.
"Dia mengucapkan selamat tinggal," kata Salem.
Kerabat Abedi itu juga mengatakan bahwa tersangka yang dicurigai sebagai pembom Manchester tersebut merasa prihatin dengan pembunuhan terhadap Abdel-Wahab Hafidah, seorang perempuan Muslim berusia 18 tahun. Menurut berita, ia tewas setelah dikejar oleh sekelompok pria, dilindas (dengan kendaraan) dan ditikam di lehernya pada bulan Mei 2016 di Manchester.
"Mereka tidak mengizinkan Anda berbagi roti dengan mereka," kata Abedi kepada kerabatnya. "Mereka berlaku tidak adil terhadap orang-orang Arab," imbuhnya.
Bin Salem menambahkan bahwa ibu Abedi mengatakan kepada penyidik bahwa anaknya berangkat ke Inggris empat hari sebelum terjadinya serangan tersebut, setelah berada di Libya selama satu bulan. Berdasarkan laporan dari seorang adiknya, penyidik menyangka Abedi menggunakan internet untuk belajar membuat bom dan "mencari kemenangan untuk ISIS," kata bin Salem.
Namun, berbagai tuduhan itu bertentangan dengan apa yang ayah Abedi katakan sehari sebelumnya dalam sebuah wawancara dengan AP.
"Kami tidak percaya untuk melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak berdosa," kata Ramadan Abedi sebelum ditahan di Tripoli. [pp]