Majelis Rakyat Papua (MRP) meminta DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (RUU DOB) Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah yang sedang digodok.
Ketua Tim Kerja MRP untuk Advokasi UU Otsus Papua, Benny Sweny, mengatakan DPR perlu menunggu hasil uji materi UU Otsus Papua yang masih berjalan di Mahkamah Konstitusi.
“Kiranya DPR RI mau memahami proses yang sedang terjadi. Kita sama-sama menunggu keputusan final dari MK yang dapat kita tunggu. Apabila mereka (hakim konstitusi) menerima (gugatan) ya kami dapat melaksanakannya. Kalau mereka menolak ya kami juga siap mendengarkan putusan tersebut,” ujarnya kepada VOA.
MRP resmi menyerahkan naskah kesimpulan atas uji materi tersebut, Rabu (25/5/2022) pagi di Jakarta. Sementara MK diperkirakan menggelar sidang putusan dalam satu bulan ke depan.
Apa yang Digugat MRP?
Dalam uji materi tersebut, MRP diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II). Mereka menggugat 7 pasal yang mereka nilai melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).
Pasal-pasal ini adalah Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76, dan Pasal 77.
Dari semua itu, pasal paling krusial yang mereka perjuangkan adalah Pasal 76 mengenai pemekaran wilayah.
Benny mengatakan, MRP meminta pemekaran wilayah hanya bisa dilakukan atas kehendak MRP sendiri, bukan dari pemerintah pusat.
“Bagaimana pun juga pemekaran yang diatur dalam pasal 76 ayat 1 itu harusnya menjadi pendekatan tunggal dalam UU Otsus Papua. Karena itulah yang jadi karakteristik Papua saat melakukan pemekaran,” tambahnya.
Jika gugatan tersebut dikabulkan MK, maka pemerintah pusat tidak berhak mengusulkan pemekaran, dan rencana pembentukan 3 provinsi baru menjadi tidak sah.
Internal MRP Beda Suara?
Di tengah gugatan tersebut, Presiden Joko Widodo mengundang sejumlah perwakilan masyarakat Papua, termasuk bupati, rektor, dan enam anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), ke Istana Bogor, Jumat (20/5/2022). Perwakilan masyarakat Papua yang hadir itu mendukung rencana pemekaran wilayah di Bumi Cenderawasih.
Namun, kehadiran sejumlah anggota MRP di Istana Bogor disebut tidak mendapat restu organisasi. Benny mengatakan mereka tidak dibekali surat perintah tugas (SPT) dan surat perintah perjalanan dinas (SPPD).
“Secara administrasi formal tidak terpenuhi. Jadi kita anggap itu bukan MRP. Apalagi judul di mana-mana ‘MRP bertemu presiden’ wah ini MRP siapa? Karena yang bisa bertemu pihak eksternal sesuai PP adalah pimpinan Majelis Rakyat Papua,” tandasnya.
Di sisi lain, anggota MRP Dorince Mehue mengatakan bahwa presiden berhak mengundang siapa saja.
Dia menyebut justru gugatan ke MK lah yang tidak melalui mekanisme organisasi. Timotius, menurutnya telah ‘melanggar kewenangan jabatan’.
Pengamat Dukung Penundaan
Munculnya berbagai suara tersebut menunjukkan MRP memiliki banyak faksi dan kepentingan, menurut Peneliti Gugus Tugas Papua di Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Indonesia. Dia menyebut, pertarungan para elit di Papua ini merugikan masyarakat biasa.
“Ini pertaruangan antara elit lawan elit. Elit sudah sepakat, ada elit lain yang nggak sepakat. Tadi MRP itu ketuanya menolak (pemekaran) tapi anggotanya sepakat,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Di sisi lain, rencana pemekaran ini menurutnya belum melibatkan masyarakat Papua secara penuh. DPR terkesan ngebut dengan pemekaraan wilayah.
“Karena kan memang proses perencanaan UU-nya itu kurang partisipatif, itu harus diakui. Dengan hasil kerja yang ugal-ugalan dan kebut-kebutan, itu rancangan UU yang disahkan Badan Legislasi (Baleg), belum disahkan UU, tapi sudah terlihat kurang nuansa kekhususannya bagi Papua,” tambahnya.
Karena itu, Alfath meminta DPR tidak buru-buru.
“Pada akhirnya ketika ini dikebut, terus partisipasi kurang, ya hanya akan menambah masalah baru. Ya saranku adalah kita perlu memberi waktu tambahan untuk mereka (OAP) konsolidasi sosial,” tandasnya. [rt/em]