Calon Presiden dari Partai Republik Donald Trump sedang berupaya memperbaiki kampanye dengan melakukan pergantian staf kampanye pekan ini.
Tapi para pengecam Trump juga makin gencar mengutarakan ketidaksukaan mereka atas komentar-komentarnya, termasuk pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Rigoberta Menchu yang berasal dari Guatemala.
Menchu, aktivis politik yang meraih Nobel tahun 1992, mengecam komentar-komentar Trump yang dianggap rasis.
Menchu mengatakan, ia tidak bisa membayangkan seorang calon presiden sangat rasis, sangat puritan mengabaikan budaya. Ini karena warga Amerika mengizinkannya, katanya. Kalau ia boleh memilih maka ia akan menolak calon tersebut.
Trump sejak awal masa kampanye pemilihan pendahuluan sampai menjadi calon presiden dianggap menyinggung migran asal Meksiko, menjuluki mereka pemerkosa bahkan berjanji untuk mendirikan tembok di sepanjang perbatasan Amerika dengan Meksiko untuk mencegah imigran gelap masuk ke Amerika dari negara tersebut.
Menchu yakin harus ada kampanye besar-besaran di negara-negara untuk menentang fasisme zaman modern. Retorika Trump, katanya, bukan hanya terhadap Meksiko tapi pesan universal yang meluas kemana-mana.
Menchu, yang meraih Nobel atas upayanya untuk perdamaian selama perang saudara di Guatemala, lebih jauh mengatakan PBB harus mengecam retorika kasar yang digunakan calon presiden Partai Republik ini terhadap migran dan kelompok minoritas.
Sementara itu, di kubu Partai Demokrat, Hillary Clinton juga mendapat kecaman dari Presiden Rusia Vladimir Putin, yang gusar karena sikap Clinton ketika menjabat sebagai menteri luar negeri.
Clinton saat itu dianggap lantang mengecam kepemimpinan Putin dengan mengatakan Putin menggunakan taktik seperti taktik Adolf Hitler pada tahun 1930-an. Komentar Clinton itu sangat membekas pada pemimpin Rusia tersebut.
Manajer kampanye Clinton bulan lalu bahkan menuduh Rusia berada di balik pembocoran email pejabat Partai Demokrat menjelang konvensi pencalonan Clinton. [my/al]