Orang Palestina dan para pendukung solusi dua negara bagi Israel dan Palestina, termasuk PBB, mengkritik undang-undang baru Israel yang memungkinkan perampasan tanah pribadi Palestina untuk pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat. Disetujuinya UU yang kontroversial itu menyusul terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS.
Trump telah menyatakan dukungan kuat bagi Israel dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, tapi Gedung Putih juga mengatakan dalam sebuah pernyataan baru-baru ini bahwa "perluasan permukiman di luar perbatasan saat ini" mungkin tidak membantu dalam mencapai perdamaian di kawasan itu
Undang-undang baru melegalkan hampir 4.000 rumah yang dibangun di atas tanah milik pribadi Palestina di Tepi Barat, dan menetapkan bahwa pemilik akan menerima kompensasi keuangan atau lahan alternatif. Orang Palestina menolaknya.
"Kami tidak ingin mengambil tanah lain yang bukan tanah kami sendiri, dan kami tidak ingin menerima uang sebagai ganti tanah kami," kata Mounir Mousa, pemilik tanah.
PBB Selasa mengatakan UU Israel itu bertentangan dengan hukum internasional, dan konsekuensi hukumnya akan terlalu besar bagi Israel.
"Sekretaris Jenderal menekankan perlunya menghindari tindakan yang akan menggagalkan solusi dua negara. Semua isu-isu inti harus diselesaikan antara pihak-pihak melalui negosiasi langsung berdasarkan resolusi Dewan Keamanan dan kesepakatan bersama yang relevan," kata juru bicara Sekjen PBB, Stephane Dujarric.
Para pemimpin Palestina mengatakan mereka akan mencari keadilan melalui pengadilan internasional. Bahkan beberapa warga Israel menentang UU itu.
"Pemerintah menyetujui UU ini artinya menyetujui bahaya besar bagi Israel - hukum yang menciptakan aneksasi de facto, hukum yang bertentangan dengan semua komitmen internasional Israel, hukum yang membuat Dewan Keamanan PBB menentang permukiman, hukum yang membawa para pemimpin pasukan keamanan Israel dan negara ke Mahkamah Kejahatan Internasional," kata Isaac Herzog, pemimpin oposisi Palestina.
Palestina dan banyak pihak percaya bahwa Israel mengandalkan dukungan dari presiden baru Amerika.
“Pemerintahan sayap kanan yang rasis di Israel mulai merasa berani karena pemerintahan baru di AS, dan karena itu merasa bahwa dirinya sendiri memiliki lisensi untuk bertindak dengan impunitas untuk membuat legislasi yang ilegal, untuk melanjutkan pencurian tanah dan ekspansi, dan terus menghancurkan kemungkinan dicapainya perdamaian,” kata Hanan Ashrawi, pejabat senior PLO.
Seorang pejabat Palestina mendesak Trump agar menggunakan pengaruhnya untuk membujuk para pemimpin Israel membatalkan UU itu.
“Hentikan! Itulah yang perlu didengar oleh Netanyahu dari Presiden Trump: Hentikan penghancuran terhadap solusi dua-negara,” kata Sekjen PLO, Saeb Erekat.
Sebagian pemukim mengatakan tidak masalah apa yang dikatakan oleh Trump.
"Faktanya UU itu akan membantu Eropa dan Amerika Serikat, yang mencari pembenaran secara hukum untuk itu. Tapi bagi kami, Israel harus utuh. Kami harus berada di sini dengan atau tanpa hukum. Darah warga Yahudi sudah tumpah di sini,” kata Moshe Baruch, salah seorang warga setempat.
Gedung Putih, Selasa (7/2) menolak berkomentar mengenai hukum itu, dan mengatakan hal itu akan dibahas dalam kunjungan Netanyahu ke Washington minggu depan (15 Februari). Perdana Menteri Israel, yang sedang melakukan lawatan di Eropa, juga menahan diri dan tidak membahas UU itu. [as/lt]