Pemerintah mengumumkan akan membentuk lembaga yang menaungi berbagai kegiatan dalam program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, REDD) bulan ini.
Staf khusus presiden bidang perubahan iklim, Agus Purnomo, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (5/10), mengatakan lembaga ini nantinya bertugas mempersiapkan mekanisme pendanaan, pengawasan dan evaluasi serta verifikasi terhadap emisi yang berhasil diturunkan.
Lembaga ini menurut Agus juga memberikan kepastian terhadap pendanaan pada proyek-proyek REDD yang akan dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan. Menurutnya, masyarakat maupun perusahaan yang berpartisipasi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca akan mendapatkan kompensasi.
Selain itu, dengan adanya lembaga REDD tersebut, dana kompensasi untuk program REDD yang nilainya sampai US$1 miliar yang ditawarkan pemerintah Norwegia akan bisa diperoleh seluruhnya. Saat ini, Indonesia baru mendapatkan $30 juta dari dari jumlah yang ditawarkan pemerintah Norwegia tersebut.
Lembaga ini nantinya akan melapor langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang hasil capaiannya.
Agus, yang juga mantan direktur eksekutif Wahan Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada 1986, mengungkapkan 75-80 persen emisi gas rumah kaca berasal dari alih guna lahan dan hutan. Kondisi ini berbeda dengan negara maju yang emisi gas rumah kacanya banyak berasal dari transportasi, ujarnya.
“Kalau masyarakat ada inisiatif, pertama dia harus melapor, dicatat , disetujui oleh lembaga REDD, kemudian nanti mereka menjalankan kegiatannya. Kalau berhasil, ada lembaga MRV yang dibentuk oleh lembaga REDD juga untuk memverifikasi adanya pengurangan emisi. Jika ada, maka lembaga REDD akan membiayai, mengganti pembiayaannya atau memberikan pendapatan untuk usaha yang berhasil mengurangi emisi,” ujar
Kepala Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Bustar Maitar, menilai pembentukan lembaga yang menaungi berbagai kegiatan dalam program REDD ini sebenarnya terlambat. Seharusnya, kata Bustar, pembentukan lembaga tersebut sudah harus dilakukan setelah Presiden mengeluarkan instruksi penghentian sementara ijin-ijin kehutanan di hutan alam primer dan lahan gambut 20 Mei 2011.
Meski demikian, Bustar mengatakan lembaga ini harus mampu mengubah tata kelola hutan karena itulah mandat yang diberikan dalam konteks moratorium hutan di Indonesia.
“Kalau misalnya lembaga ini hanya difokuskan untuk menjadi kasir uang REDD, ini langkah mundur atau tidak akan bisa mencapai semangat yang diungkapkan presiden dalam rangka perbaikan tata kelola hutan di Indonesia,” ujarnya.
Bustar menambahkan bahwa jika Indonesia ingin menurunkan emisi gas rumah kaca 26 persen sesuai komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden SBY, maka pemerintah harus serius dalam menghentikan pembukaan hutan dan lahan gambut.
“Kedua, dalam jangka panjang bagaimana memperbaiki tata kelola hutan kita termasuk persoalan good governance,” ujarnya.
Staf khusus presiden bidang perubahan iklim, Agus Purnomo, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (5/10), mengatakan lembaga ini nantinya bertugas mempersiapkan mekanisme pendanaan, pengawasan dan evaluasi serta verifikasi terhadap emisi yang berhasil diturunkan.
Lembaga ini menurut Agus juga memberikan kepastian terhadap pendanaan pada proyek-proyek REDD yang akan dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan. Menurutnya, masyarakat maupun perusahaan yang berpartisipasi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca akan mendapatkan kompensasi.
Selain itu, dengan adanya lembaga REDD tersebut, dana kompensasi untuk program REDD yang nilainya sampai US$1 miliar yang ditawarkan pemerintah Norwegia akan bisa diperoleh seluruhnya. Saat ini, Indonesia baru mendapatkan $30 juta dari dari jumlah yang ditawarkan pemerintah Norwegia tersebut.
Lembaga ini nantinya akan melapor langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang hasil capaiannya.
Agus, yang juga mantan direktur eksekutif Wahan Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada 1986, mengungkapkan 75-80 persen emisi gas rumah kaca berasal dari alih guna lahan dan hutan. Kondisi ini berbeda dengan negara maju yang emisi gas rumah kacanya banyak berasal dari transportasi, ujarnya.
“Kalau masyarakat ada inisiatif, pertama dia harus melapor, dicatat , disetujui oleh lembaga REDD, kemudian nanti mereka menjalankan kegiatannya. Kalau berhasil, ada lembaga MRV yang dibentuk oleh lembaga REDD juga untuk memverifikasi adanya pengurangan emisi. Jika ada, maka lembaga REDD akan membiayai, mengganti pembiayaannya atau memberikan pendapatan untuk usaha yang berhasil mengurangi emisi,” ujar
Kepala Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Bustar Maitar, menilai pembentukan lembaga yang menaungi berbagai kegiatan dalam program REDD ini sebenarnya terlambat. Seharusnya, kata Bustar, pembentukan lembaga tersebut sudah harus dilakukan setelah Presiden mengeluarkan instruksi penghentian sementara ijin-ijin kehutanan di hutan alam primer dan lahan gambut 20 Mei 2011.
Meski demikian, Bustar mengatakan lembaga ini harus mampu mengubah tata kelola hutan karena itulah mandat yang diberikan dalam konteks moratorium hutan di Indonesia.
“Kalau misalnya lembaga ini hanya difokuskan untuk menjadi kasir uang REDD, ini langkah mundur atau tidak akan bisa mencapai semangat yang diungkapkan presiden dalam rangka perbaikan tata kelola hutan di Indonesia,” ujarnya.
Bustar menambahkan bahwa jika Indonesia ingin menurunkan emisi gas rumah kaca 26 persen sesuai komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden SBY, maka pemerintah harus serius dalam menghentikan pembukaan hutan dan lahan gambut.
“Kedua, dalam jangka panjang bagaimana memperbaiki tata kelola hutan kita termasuk persoalan good governance,” ujarnya.