Sebuah tim khusus telah dibentuk oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) untuk mendiskusikan, apakah sebuah situs selayaknya diblokir atau tidak.
Pemerintah menggunakan seluruh dasar hukum yang ada, karena sebenarnya telah ada aturan yang pasti mengenai konten sebuah situs.
Setelah sebelumnya memblokir 24 situs internet yang dinilai ikut menyebarkan paham radikal, Kamis (28/1), Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) kembali memblokir embilan situs lainnya. Sembilan situs yang diblokir hari Kamis, 28 Januari 2016 adalah:
- bahrunnaim.space
- eramuslim.com
- manjanik.com
- langitmuslim.blogspot.co.id
- revolusiislambersamaazzammedia.blogspot.co.id
- kajiantauhid.blogspot.co.id
- mikailkanie.wordpress.com
- muslimori1.blogspot.co.id
- pendukungdaulahislam.blogspot.co.id
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Ismail Cawidu kepada VOA menjelaskan, pemblokiran ini dilakukan setelah adanya laporan masyarakat terhadap isi situs-situs tersebut.
“Dulu waktu kami memblokir beberapa situs radikal, itu ada tujuh pemilik situs yang datang kepada kami. Kita berdialog, berkomunikasi, kenapa langkah itu kita lakukan. Setelah kita sampaikan alasannya, itu ada saling pengertian, dan konten-konten radikalnya diturunin sama dia. Kita nggak blokir lagi. Jadi blokir itu tidak permanen, situs itu bisa dihidupkan kembali. Sepanjang kontennya sudah tidak memuat lagi hal-hal yang dilarang oleh undang-undang,” kata Ismail Cawidu.
Salah satu situs yang diblokir oleh pemerintah pada Kamis kemarin adalah eramuslim.com. Dihubungi VOA melalui telepon, Pemimpin Redaksi eramuslim.com, Riza Dirgantara mengaku kecewa dengan langkah pemerintah ini. Dia beralasan, situs berita yang dikelolanya tidak menyebarkan paham radikal.
Situs eramuslim memang memuat banyak berita mengenai kelompok-kelompok yang berperang di Timur Tengah. Namun Riza mengatakan, kecenderungan situs eramuslim dalam memberitakan kelompok tertentu, tidak dapat dijadikan dasar pijakan, bahwa situs tersebut memiliki pandangan yang sama dengan kelompok tersebut.
Riza juga mengingatkan, kebijakan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati karena menyangkut hak kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers. “Yang kita sayangkan itu karena tidak konfirmasi. Sebenarnya kalau terjadi dialog di awal, mereka menghubungi, berita apa yang salah, berita apa yang tidak disetujui, kan kita bisa saling berargumentasi berdasarkan fakta yang ada. Tetapi yang terjadi kan tiba-tiba diblokir secara sepihak,” kata Riza Dirgantara.
Pengamat teknologi informasi dari Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi menilai, pemblokiran sebuah situs sebenarnya bukan langkah yang efektif. Kebijakan ini bisa direspon oleh pengelola situs dengan membuka puluhan bahkan ratusan situs semacam. Di era sekarang ini, membuat sebuah situs demikian mudah.
Namun Heru memahami, bahwa pemerintah harus melakukan sesuatu, apalagi di tengah tekanan publik soal kehadiran situs-situs semacam itu. Lebih penting dari sekadar memblokir situs, kata Heru, pemerintah juga harus mendidik masyarakat agar secara mandiri tidak menerima paham radikal itu sendiri.
“Kalau misalnya, blokir-memblokir saja, akan banyak situs yang saat ini diblokir, besok tumbuh. Satu diblokir bisa jadi seribu yang hadir. Tetapi memang pemerintah itu kan harus ada upaya, harus kelihatan di mata publik dan mungkin juga di mata kelompok-kelompok radikal itu sendiri, bahwa pemerintah tidak diam saja. Karena itulah kemudian dilakukan pemblokiran ini,” jelas Heru Sutadi.
Heru Sutadi juga menambahkan Indonesia sudah waktunya memiliki sebuah lembaga khusus dalam bidang teknologi informasi semacam ini. Tugas lembaga ini menyatukan sebagian pekerjaan badan intelejen, Kemenkominfo, BNPT dan lembaga terkait dalam satu koordinasi utuh.
Heru mengingatkan, perebutan pengaruh melalui teknologi informasi sudah menjadi perang tersendiri. Karena itu, Indonesia membutuhkan “angkatan perang” yang mampu melawan paham-paham radikal semacam itu dengan lebih efektif di dunia maya. [ns/lt]