Koordinator Advokasi Kebijakan Asosiasi LBH APIK Ratna Batara Munti dalam diskusi di Jakarta, Rabu (13/4) mengatakan aturan pelaksana turunan atau peraturan pemerintah untuk implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan prioritas yang harus segera diterbitkan.
Peraturan pemerintah yang dimaksud di antaranya tentang tata cara dan mekanisme penanganan, perlindungan serta pemulihan korban kekerasan seksual. Juga peraturan tentang dana bantuan bagi korban dan restitusi, tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu, pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan tenaga layanan, serta peraturan presiden tentang kebijakan nasional pemberantasan kekerasan seksual.
Ratna juga mengkritisi tidak dimasukkannya isu pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Artinya perjuangan kita di (Rancangan Undang-undang) KUHP nanti terkait pemaksaan aborsi harus benar-benar dikasih keterangan bahwa ini adalah tindak pidana kekerasan seksual sehingga dia bisa mengacu terhadap hukum acara khusus di Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," kata Ratna.
Dia juga meminta segera dilakukannya revisi Perkap terkait Undang-undang Perlindungan Perempuan dan Anak dan manjemen penyidikan tindakan pidana yang mengakomodasi terobosan hukum acara di Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Revisi ini juga harus dilakukan di lembaga kejaksaan dan kehakiman.
Ratna merekomendasikan revisi atas Undang-undang Kesehatan untuk memasukkan korban kekerasan seksual suapaya dapat mengakses layanan aborsi yang aman. Saat ini hanya korban pemerkosaan yang bisa mengakses aborsi aman menurut Undang-undang Kesehatan.
UU TPKS Beri Perlindungan pada Korban
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan pihaknya pada Desember tahun lalu merilis survei yang menunjukkan sepanjang 2021 empat persen laki-laki berusia 13-17 tahun dan delapan persen perempuan berumur 13-17 tahun di perkotaan pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apapun.
Sedangkan tiga persen laki-laki berumur 13-17 tahun dan delapan persen berusia 13-17 tahun di pedesaan pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apapun.
Menurutnya data tersebut menunjukkan permasalahan yang terjadi sebenarnya lebih rumit daripada yang terlihat di permukaan.
"Kekerasan seksual sebagai kejahatan serius membutuhkan solusi komprehensif, salah satunya melalui Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual karena regulasi nasional yang sebelumnya ada, belum cukup untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ada," kata I Gusti Ayu.
I Gusti Ayu menegaskan pemerintah siap melaksanakan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan sebaik-baiknya karena beleid ini sangat komprehensif. Dia mengatakan pemerintah akan segera menyusun peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut sesuai mekanisme yang berlaku dan mensosialisasikan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual kepada masyarakat.
Menteri I Gusti Ayu berharap berlakunya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat memberikan perlindungan komprehensif terhadap korban dan memberikan pencegahan atas upaya kekerasan seksual, menangani, melindungi, memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual.
Relasi Kuasa Jadi Isu Penting di UU TPKS
Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rayat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luluk Nur Hamidah menegaskan Undang-undang Tindak Pidana kekerasan Seksual memiliki kekuatan sangat luar biasa karena beleid ini mewakili semua orang dan siapa saja.
Dia mencontohkan kaum buruh, pekerja di perkebunan sawit, pekerja di ruang publik dan pekerja rumah tangga sangat membutuhkan kehadiran Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebab kekerasan seksual sangat mudah terjadi di lingkungan tempat mereka bekerja.
Luluk menambahkan terobosan yang menarik dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah relasi kuasa diberi tempat dan ini bisa menjadi unsur pemberatan bagi pelaku kekerasan seksual.
"Jadi kalau pelaku itu memiliki relasi kuasa, apakah itu orang tua, pemberi kerja, pihak yang punya pengaruh, yang punya kedudukan, apakah itu yang punya jabatan politik atau sebagai pejabat publik, maka justeru hukumannya ditambah sepertiga. Jadi ada pemberatan bagi pelaku tindakan seksual kalau mereka dalam posisi ada relasi kuasa," ujar Luluk.
Luluk menyebutkan dalam beleid tersebut kehadiran pendamping atau lembaga penyedia layanan termasuk psikolog, dilibatkan betul dan bahkan menjadi dasar bagi penyidikan atau pemeriksaan kepada korban kekerasan seksual.
Luluk mengatakan jika korban tidak tahan atau bisa trauma jika diperiksa polisi maka Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan tempat bagi pendamping atau psikolog untuk meminta keterangan korban. Penyandang disabilitas juga diakui dan setara dengan korban lain. Bahkan negara memfasilitasi dan memberi kemudahan dalam memberikan keterangan.[fw/em]