Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana mengatakan pemerintah kurang "greget" dalam menyelesaikan konflik di laut Natuna Utara, Kepulauan Riau. Hal ini kata Evan terlihat pada fokus pemerintah yang cenderung hanya mencari penyelesaian permasalahan ini, dibandingkan dengan pencegahan konflik serupa yang mungkin akan terjadi lagi di masa depan.
Evan mengatakan, pemerintah harus melakukan opsi-opsi diplomasi lain dalam menyelesaikan permasalahan ini. Eskalasi diplomasi, kata Evan sangat memungkinkan untuk dilakukan seperti salah satunya adalah memanggil pulang atau menarik Duta Besar Indonesia untuk China kembali ke Tanah Air. Opsi eskalasi diplomasi lebih bisa dikendalikan dengan baik dibandingkan opsi eskalasi di lapangan.
“Sampai saat ini opsi di luar nota protes kita belum bahas, seperti misalnya kalau misalnya cost guard Cina berada di ZEE kita dan tidak ada jaminan dari mereka bahwa tidak akan mengulangi lagi, mungkin saatnya kita recall Dubes kita di Beijing, minimal dalam waktu satu atau dua minggu,” ujarnya dalam acara diskusi Ikatan Advokat Indonesia "Jalan Keluar Sengketa Natuna" di Jakarta, Kamis (9/1).
Lanjutnya, kalau opsi diplomasi tersebut tidak ampuh pemerintah bisa me-review kerja sama yang sudah ada dengan negara tirai bambu itu. Selain itu pemerintah juga harus mengukur sejauh mana ketergantungan Indonesia dengan China. Memang secara makro ekonomi, Indonesia mempunyai hubungan perdagangan dan investasi, namun kata Evan yang perlu di garis bawahi adalah, hubungan tersebut pastinya berlangsung secara dua arah. Maka dari itu, China pun akan nantinya akan merespon kebijakan Indonesia dengan seksama, karena China juga memiliki market yang besar di Indonesia.
“Jadi ini semua, opsi-opsi ini bukan bebas dari resiko, tentu saja ada resikonya. Tapi kalau kita tetap mengulangi kebijakan dan step yang sama ya resikonya ini akan berulang lagi,” tambah Evan.
Masalah dengan China Tidak Akan Pernah Selesai
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa konflik hak berdaulat di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau dengan China tidak akan pernah selesai. Pasalnya baik Indonesia maupun China tetap teguh dengan masing-masing klaimnya. Langkah negosiasi terkait hal ini pun sudah tidak mungkin untuk dilakukan. Maka dari itu, karena ini menyangkut sumber daya alam (SDA) yang ada di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia haruslah dimanfaatkan dengan baik.
“Pertama adalah hadir, hadir, hadir secara fisik di ZEE Indonesia. Saya tidak tahu bagaimana caranya, saya bukan pemerintah, tapi silahkan pemerintah dengan DPR memikirkan bagaimana hadir di sana, baik itu hadir nelayannya, maupun hadir patrolinya. DPR misalnya harus berpikir tidak hanya TNI yang diperkuat alutsistanya, tetapi harus berpikir tentang patroli laut,” ujar Hikmahanto.
Ditambahkannya, otoritas penegak hukum di ZEE harus tetap konsisten menganggap bahwa sembilan garis putus yang diklaim oleh China adalah tidak ada. Sehingga jika nelayan ada yang mengambil ikan bisa ditangkap dan diproses secara hukum. Menurutnya jika hal itu dilakukan secara konsisten, ada kemungkinan bahwa China akan mundur dengan sendirinya.
Pemerintah juga menurutnya harus konsisten mengatakan bahwa sembilan garis putus yang diklaim oleh China tidak ada. Menurutnya, hal semacam ini tidak akan merusak persahabatan dengan China nantinya.
“Pemerintah dari waktu ke waktu harus konsisten mengatakan tidak ada yang namanya sembilan garis putus. Harus konsisten, zamannya Pak Ali Alatas seperti itu, zamannya mungkin Pak Hasan Wirajuda seperti itu, zamannya Ibu Retno seperti itu, dan seterus, dan jangan pernah kita merasa bahwa enggak enak, karena takut persahabatan rusak. Banyak kok negara-negara yang masalah. Kita sama Malaysia kadang-kadang juga punya sengketa seperti itu, persahabatan jadi runyam? Engga kan,” tambahnya.
Opsi Pengiriman Nelayan ke Natuna Kurang Tepat
Direktur Imparsial dan Ketua Hubungan Kelembagaan DPP Ikadin, Al Araf, menilai langkah pemerintah yang ingin mengirimkan nelayan luar daerah ke Laut Natuna Utara dinilai kurang tepat. Pasalnya, nelayan di Natuna Utara sendiri pembangunan ekonomi, sosial dan budaya-nya masih kurang kuat. Maka dari itu, ia berharap alih-alih mengirimkan lebih banyak nelayan dari luar daerah ke Natuna Utara, pemerintah harus memastikan dulu apakah nelayan Natuna sendiri sudah dalam keadaan yang baik dari segala aspek kehidupan.
“Orang seringkali diskusi tentang konflik perbatasan itu diskusinya hanya di dua level kapasitas pertahanan dan hubungan luar negeri. Padahal dalam level tertentu penggunaan ekonomi, sosial, budaya masyarakat juga penting. Artinya kalau kemudian pengiriman nelayan itu, saya lebih prioritas bagaimana tugas pemerintah memastikan nelayan di Natuna memiliki akses ekonomi yang kuat, infrastruktur yang baik sehingga mereka bisa melayani dengan baik, termasuk di wilayah Natuna dan itu tugas siapa? Itu tugas dari KKP,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah perlu memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla) jika memang ingin dijadikan sebagai cost guard. Menurutnya, selama ini keberadaan serta tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Bakamla masih belum jelas, termasuk peralatan yang dipunyai pun masih meminjam dari peralatan TNI.
“Bakamla ini makhluk apa, bentuknya apa, di satu sisi kasian juga kapalnya minjem dari TNI AL, minjem dari polisi air, maka dari itu tugasnya DPR untuk memastikan Bakamla harus ditingkatkan kalau mereka ingin di desain sebagai cost guard. Tapi memang mereka di desain sebagai cost guard. Agar kemudian dalam wilayah ZEE tadi ia bisa memainkan peran yang lebih signifikan. Menurut saya ini yang perlu dipikirkan dalam jangka waktu dekat oleh pemerintah dalam konteks Bakamla,” jelas Al Araf. [gi/jm]