Presiden Jokowi didampingi beberapa menteri Kabinet Kerja menyelenggarakan rapat konsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di Istana Merdeka Jakarta Selasa (13/10).
Menteri koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (menko polhukam) Luhut Pandjaitan menjelaskan pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penundaan itu menurut Luhut, karena Pemerintah tengah fokus memantau perkembangan upaya perbaikan perekonomian Indonesia.
"Tadi konsultasi pimpinan DPR dengan Presiden telah dilakukan. Dan kita telah bersepakat mengenai penyempurnaan undang-undang KPK itu, kita akan menunggu pada persidangan yang akan datang. Karena pemerintah masih perlu masih melihat ekonomi ini berjalan dengan baik. Proses recovery dari ekonomi ini. Kesepakatan itu kita capai dalam suasana yang sangat bersahabat. Kita paham posisi dari teman-teman DPR. Dan teman-teman DPR juga paham posisi dari pemerintah," ungkap Luhut.
Senada dengan Luhut, Ketua DPR RI Setya Novanto mengatakan, bahwa DPR-RI sekarang ini sedang melaksanakan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016, yang harus diselesaikan sebelum tanggal 28 Oktober mendatang.
"Karena tentu di DPR ini sedang melaksanakan (pembahasan) APBN. Yang harus kita laksanakan pada tanggal 28 Oktober. Itu harus kita putuskan. Dan juga langsung masuk reses tanggal 30 Oktober," ujar Setya.
Setya Novanto memastikan, ada kesamaan pandangan bersama antara pemerintah dengan DPR seputar revisi undang-undang KPK.
"Karena ini merupakan satu kesatuan yang harus kita perhatikan bersama. Dan tentu pertemuan ini memberikan suatu gambaran besar. Sehingga persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penyempurnaan (undang-undang) KPK itu, kita bisa laksanakan setelah semuanya itu bisa selesai dengan sebaik-baiknya. Karena semuanya ini tentu kita perhatikan. Khususnya bagaimana kita akan memperkuat KPK ini akan lebih baik," tambahnya.
Pembahasan revisi undang-undang KPK ini sejak beberapa pekan terakhir menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Publik melihat ada upaya sistimatis yang coba digulirkan melalui revisi undang-undang KPK melalui pemangkasan beberapa kewenangan yang sebelumnya dimiliki KPK.
Lembaga penelitian dan pengawasan praktik korupsi di Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW) berharap Pemerintah bersikap tegas dalam keberpihakannya untuk tidak memperlemah KPK.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho kepada VOA menegaskan, Presiden Joko Widodo harus menyatakan sikap tegasnya secara langsung kepada publik, bahwa Presiden, menolak upaya pelemahan KPK melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Emerson mengatakan, "Yang saat ini ditunggu oleh publik adalah sikap langsung dari seorang Jokowi ya.. Kalau kita lihat secara substansi (revisi UU KPK), ini tidak hanya soal bubar (lembaga KPK) tapi sudah masuk ke soal pembunuhan. Masa waktu KPK hanya 12 tahun. Kewenangan penuntutan hilang. Proses penyadapan dan penyitaan harus izin pengadilan negeri. Plus kasus yang ditangani KPK hanya yang di atas Rp 50 Milyar. Ini kan satu hal yang nampaknya ini bukan bicara soal penguatan. Di mana-mana revisi itu bicara soal penguatan, ini justru pelemahan. Jadi seperti lagu..’Killing me Softly’, jadi membunuh secara pelan-pelan."
Emerson melihat, ada tekanan politik yang sangat besar dalam pembahasan revisi undang-undang KPK ini. Tekanan itu menurut Emerson tidak lain berasal justru dari 2 partai politik pendukung pemerintah.
"Bagi kami sendiri, melihat bahwa tekanan politik untuk proses pembahasan UU KPK ini begitu besar ya. Dari catatan ICW ada sekitar 86 kasus yang melibatkan politisi. Yang ditenggarai ada 2 besar partai PDI Perjuangan dan Golkar. Ini kita melihat ada korelasi dengan para pengusul revisi UU KPK ini. Ada Golkar, dan juga ada PDI Perjuangan," papar Emerson.
Sebagaimana diketahui, ada 15 poin yang menjadi perdebatan dalam revisi UU KPK. Di antaranya adalah pembatasan masa kerja KPK hanya 12 tahun. Lalu, KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp 50 miliar ke atas. Di samping itu, KPK harus mendapatkan izin ketua pengadilan negeri untuk melakukan penyadapan terhadap target pelaku terduga koruptor.