Menurut pengamat ekonomi, Nina Sapti, ditangkapnya buron KLBI Sherny Kojongian awal pekan lalu merupakan pintu masuk penuntasan kasus BLBI dan KLBI. Sherny merupakan pejabat penting di Bank Harapan Sentosa atau BHS yang pada saat krisis ekonomi terjadi di Indonesia masuk dalam daftar bank bersamalah sehingag ditutup. Pada tahun 2002 Sherny divonis 20 tahun penjara karena terbutki menyalahgunakan dana KLBI sebesar Rp 1,95 trilyun, namun ia melarikan diri ke Amerika Serikat.
Kepada VoA di Jakarta, Senin, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Nina Sapti menilai aparat penegak hukum harus mampu memproses Sherny hingga tuntas. Ia menambahkan upaya pemerintah untuk memberlakukan hukum pidana sekaligus perdata terhadap Sherny harus didilakukan dengan cermat karena hukum perdata dengan cara mengembalikan uang yang sudah dilarikan selama ini harus dihitung dengan nilai dari berbagai aspek.
“Kalau dari sisi uang jelas nambah anggaran, yang jadi masalah kalau dia cuma ngembaliin pokok, itu kan bunga berbunga kalau bahasa ekonominya, 2 trilyun sepuluh tahun yang lalu sama hari ini beda. Jadi inti persoalannya, ada orang hilang dia koruptor punya aspek hukum punya aspek ekonomi, dulu yang dikorupsi berapa tentu kita harus membuka terang benderang kan, yang negosiasi juga berapa. Ini kan aspek menarik dari masalah KLBI, BLBI ini kan bukan sekedar jumlah uang tetapi prosesnya sendiri sehingga mencapai hasil ini bagaimana? Katakanlah, kalau kita flat harusnya adilnya antara yang 1 trilyun sama yang 30 trilyun, yang 30 trilyun mencuri itu 30 kali lipat lebih mahal dari yang 1 trilyun, kalau yang 1 trilyun setahun, yang 30 trilyun 30 tahun, maksudnya ini keadilan ekonomi kan dipertanyakan lagi,” papar Nina Sapti.
Sementara, Teten Masudki selaku Sekjen Transparansi Internasional menilai kerja aparat penegak hukum berhasil memulangkan kembali Sherny patus dihargai. Ia juga berharap langkah tersebut dapat dikembangkan dengan menangkap buron kasus BLBI dan KLBI lainnya.
Teten mengatakan, “Justru masyarakat selama ini melihat kasus BLBI ini kan sudah berhenti proses hukumnya, sudah terlalu lama, terbukti banyak kasus yang dibiarkan begitu saja oleh kejaksaan maupun kepolisian. Masyarakat dikagetkan dengan tiba-tiba saja muncul penangkapan Sherny ini dari Amerika, apakah ini bisa dilihat sebagai satu bentuk keseriusan aparat hukum untuk terus mengejar, atau ini sifatnya kasuistik, Sherny ini kan bukan pelaku besar ya.”
Terpuruknya perbankan di Indonesia akibat dampak negatif krisis ekonomi tahun 1998, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN yang bertugas menyehatkan kembali bank-bank agar tidak tutup.
Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 27 tahun 1998 BPPN dibentuk dengan masa tugas hingga tahun 2003. Karena berbagai pertimbangan masa kerja BPPN diperpanjang hingga tahun 2005. Sepanjang BPPN dibentuk sekitar 50 bank masuk daftar BPPN dengan total kewajiba bank-bank tersebut kepada Bank Indonesia sekitar Rp 600 trilyun akibat kredit macet. Bantuan BI saat itu berupa BLBI yaitu dana talangan dari BI ke bank-bank bermasalah agar tidak tutup, dan KLBI yaitu pinjaman bank tertentu kepada BI untuk operasional.
Tidak seluruh pemilik bank mampu memenuhi kewajibannya sehingga pemerintah berinisitif menyertakan modal ke beberapa bank yang masuk daftar BPPN agar tetap sehat. Namun ketika itu beberapa pemilik bank malarikan diri ke luar negeri menghindari kewajiban membayar cicilan ke BI dan dinyatakan buron oleh kepolisan RI. Berbagai kalangan juga menilai selain pemerintah tidak pernah secara resmi menyatakan kerugian yang harus ditanggung negara akibat larinya beberapa pemilik bank bermasalah, aparat keamanan RI juga tidak serius menuntaskan kasus BLBI dan KLBI.
Kepada VoA di Jakarta, Senin, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Nina Sapti menilai aparat penegak hukum harus mampu memproses Sherny hingga tuntas. Ia menambahkan upaya pemerintah untuk memberlakukan hukum pidana sekaligus perdata terhadap Sherny harus didilakukan dengan cermat karena hukum perdata dengan cara mengembalikan uang yang sudah dilarikan selama ini harus dihitung dengan nilai dari berbagai aspek.
“Kalau dari sisi uang jelas nambah anggaran, yang jadi masalah kalau dia cuma ngembaliin pokok, itu kan bunga berbunga kalau bahasa ekonominya, 2 trilyun sepuluh tahun yang lalu sama hari ini beda. Jadi inti persoalannya, ada orang hilang dia koruptor punya aspek hukum punya aspek ekonomi, dulu yang dikorupsi berapa tentu kita harus membuka terang benderang kan, yang negosiasi juga berapa. Ini kan aspek menarik dari masalah KLBI, BLBI ini kan bukan sekedar jumlah uang tetapi prosesnya sendiri sehingga mencapai hasil ini bagaimana? Katakanlah, kalau kita flat harusnya adilnya antara yang 1 trilyun sama yang 30 trilyun, yang 30 trilyun mencuri itu 30 kali lipat lebih mahal dari yang 1 trilyun, kalau yang 1 trilyun setahun, yang 30 trilyun 30 tahun, maksudnya ini keadilan ekonomi kan dipertanyakan lagi,” papar Nina Sapti.
Sementara, Teten Masudki selaku Sekjen Transparansi Internasional menilai kerja aparat penegak hukum berhasil memulangkan kembali Sherny patus dihargai. Ia juga berharap langkah tersebut dapat dikembangkan dengan menangkap buron kasus BLBI dan KLBI lainnya.
Teten mengatakan, “Justru masyarakat selama ini melihat kasus BLBI ini kan sudah berhenti proses hukumnya, sudah terlalu lama, terbukti banyak kasus yang dibiarkan begitu saja oleh kejaksaan maupun kepolisian. Masyarakat dikagetkan dengan tiba-tiba saja muncul penangkapan Sherny ini dari Amerika, apakah ini bisa dilihat sebagai satu bentuk keseriusan aparat hukum untuk terus mengejar, atau ini sifatnya kasuistik, Sherny ini kan bukan pelaku besar ya.”
Terpuruknya perbankan di Indonesia akibat dampak negatif krisis ekonomi tahun 1998, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN yang bertugas menyehatkan kembali bank-bank agar tidak tutup.
Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 27 tahun 1998 BPPN dibentuk dengan masa tugas hingga tahun 2003. Karena berbagai pertimbangan masa kerja BPPN diperpanjang hingga tahun 2005. Sepanjang BPPN dibentuk sekitar 50 bank masuk daftar BPPN dengan total kewajiba bank-bank tersebut kepada Bank Indonesia sekitar Rp 600 trilyun akibat kredit macet. Bantuan BI saat itu berupa BLBI yaitu dana talangan dari BI ke bank-bank bermasalah agar tidak tutup, dan KLBI yaitu pinjaman bank tertentu kepada BI untuk operasional.
Tidak seluruh pemilik bank mampu memenuhi kewajibannya sehingga pemerintah berinisitif menyertakan modal ke beberapa bank yang masuk daftar BPPN agar tetap sehat. Namun ketika itu beberapa pemilik bank malarikan diri ke luar negeri menghindari kewajiban membayar cicilan ke BI dan dinyatakan buron oleh kepolisan RI. Berbagai kalangan juga menilai selain pemerintah tidak pernah secara resmi menyatakan kerugian yang harus ditanggung negara akibat larinya beberapa pemilik bank bermasalah, aparat keamanan RI juga tidak serius menuntaskan kasus BLBI dan KLBI.