Pertumbuhan ekonomi, moralitas, dan persatuan menjadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, dan hal ini membuat penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu tidak menjadi target utama. Janji Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan pelanggaran HAM, seperti tragedi 1965 dan peristiwa Semanggi-Trisakti, hingga tahun ketiga masa jabatannya masih belum dipenuhi.
Perhatian pemerintah seolah tersedot dalam upaya memajukan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur, upaya mengatasi kelompok konservatif yang dianggap anti-Pancasila, dan menggunakan narasi nasionalisme sempit untuk memperkuat hegemoni kekuasaan pemerintah.
Hal ini mengemuka dalam jumpa pers setelah peresmian kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta, Senin (4/12). Pengacara senior yang juga aktivis HAM Todung Mulya Lubis mengatakan meski demokrasi di Indonesia berjalan secara reguler dan kehidupan politik berlangsung cukup dinamis, perhatian pemerintah terhadap HAM masih perlu ditingkatkan. Karena itu ia dia berharap kehadiran Amnesty International di Indonesia tidak saja akan memantau penegakan HAM, tetapi juga memperkuat institusi HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Todung, saat kampanye pemilihan presiden tiga tahun lalu, terlihat komitmen kuat penegakan HAM di Indonesia, yang disampaikan oleh dua pasangan kandidat, termasuk penyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Inilah utang kita kepada republik ini, inilah utang kita kepada rakyat Indonesia. Tidak mungkin Indonesia bisa jalan mulus ke depan, menjadi rumah bersama, kalau persoalan-persoalan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu itu tidak kita selesaikan secara tuntas," ujar Todung.
Todung menegaskan janji penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu akan selalu menjadi ganjalan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Ia menyitir rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai bagian dari upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, yang sayangnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Tanpa KKR, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM melalui jalur hukum normal sangat sulit dilakukan,” tambah Todung.
Lebih jauh Todung mencontohkan penyelesaian pelanggaran HAM di Rwanda yang membutuhkan waktu 150 tahun.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto mengatakan pemerintahan sebelumnya sudah pernah menggelar pengadilan HAM atas sejumlah kasus, seperti Tanjung Priok dan Timor-Timur, tapi kurang optimal.
Menurutnya, untuk membuka kebenaran mengenai HAM merupakan hal tidak sederhana, terlebih karena Indonesia belum siap menerima kebenaran.
Pembentukan KKR menurutnya juga tidak efektif karena banyak pelaku, saksi, dan korban banyak yang sudah meninggal atau berusia lanjut.
Meskipun demikian Sidarto berharap pemerintah perlu mencontoh Afrika Selatan, Cile, dan Ukraina yang berani mengakui kebenaran mengenai pelanggaran HAM di masa lalu.
"Jadi mereka tidak malu membangun museum mengenai masa kelam bangsanya dan mereka menjadi bangsa besar karena mereka mengakui pernah mengalami masa kelam pada masa lalunya. Kita tidak perlu menutupi. Saya harapkan suatu hari dengan perjuangan Amnesty Internasional, lembaga-lembaga HAM lainnya, kita sampai ke sana," kata Sidarto.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan tantangan hak asasi manusia ke depan akan semakin berat karena tiga faktor.
Pertama, energi pemerintah tersedot untuk mengatasi perlambatan ekonomi. Kedua, menguatnya politik identitas, penggunaan agama untuk tujuan-tujuan politik, kekuasaan, atau membawa kebencian. Ketiga, negara semakin hati-hati menghadapi kelompok-kelompok yang memakai politik identitas, agar tidak terjebak mengambil tindakan represif.
Usman mencontohkan penelitian perluasan perkebunan sawit yang dilakukan Amnesty International, yang menunjukkan dengan gamblang pelanggaran HAM, perusakan alam, penghancuran habitat. Dia mengakui presiden memang telah menyetop pemberian izin pembukaan lahan perkebunan sawit, namun hal itu belum cukup untuk menghentikan pelanggaran HAM di sektor perkebunan sawit.
Contoh lainnya adalah penggunaan kekerasan berlebihan dalam menghadapi protes para petani yang menolak pembangunan bandar udara internasional di Majalengka, Jawa Barat. Juga pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng yang melanggar hak-hak para petani. Lebih lanjut Usman mengatakan menguatnya politik identitas tidak hanya menjadi senjata dalam kompetisi politik di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga menjadi bahan bakar bagi praktek-praktek intoleransi di masyarakatnya, terutama terhadap kaum minoritas.
Usman menilai dalam beberapa tahun belakangan intensitas penggunaan identitas agama dalam penciptaan atmosfer intoleransi semakin menguat. Belum lagi ujaran-ujaran kebencian di media sosial.
Rangkaian acara peluncuran Amneesty International Indonesia akan dilaksanakan selama 7-10 Desember. Perhelatan ini juga akan diadakan di sejumlah kota, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Makassar. [fw/em]