Pemerintah dan Komisi hukum Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk membahas naskah versi terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada akhir bulan ini.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Profesor Edward Omar Sharif Hiariej, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kompleks parlemen di Jakarta, Rabu (9/11), menjelaskan pemerintah sudah melakukan sosialisasi sekaligus dialog publik untuk menjamin partisipasi publik dalam merumuskan naskah RKUHP.
Dialog publik tersebut telah dilakukan di sebelas kota, mulai dari Medan pada 20 September, kemudian Padang, Bandung, Denpasar, Surabaya, Pontianak, Samarinda, Makassar, Manado, Ternate, dan terakhir di Sorong. Dari hasil dialog publik itu, lanjut Edward, pemerintah mengadopsi 53 item masukan dari masyarakat.
Berdasarkan masukan tersebut, dia menambahkan terjadi perubahan jumlah pasal dalam RKUHP. Naskah RKUHP versi 9 November atau yang terbaru memiliki 627 pasal, sedangkan versi 6 Juli mencakup 632 pasal.
Masukan-masukan dari masyarakat itu dikelompokkan dalam empat kategori, yakni penghapusan, reformulasi, penambahan dan reposisi. "Pertama adalah reformulasi. Ini antara lain menambahkan kata ‘kepercayaan’ di pasal-pasal yang mengatur mengenai agama. Kemudian mengubah frasa ‘pemerintah yang sah"’ menjadi ‘pemerintah’. Mengubah penjelasan pasal 218 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden," kata Edward.
Dalam kategori penambahan, tim perumus menambahkan satu pasal terkait penegasan beberapa tindak pidana terkait tindak pidana kekerasan seksual. Di bagian penghapusan, tim perumus menghapus pasal-pasal tentang penggelandangan, unggas dan hewan ternak yang melewati kebun, serta dua pasal tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
Pada kategori reposisi, tim perumus mereposisi tiga pasal mengenai tindak pidana pencucian uang menjadi dua pasal tanpa ada perubahan substansi.
Dalam rapat dengar pendapat tersebut, Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan kemungkinan Komisi III akan mengusulkan tambahan satu atau dua pasal dalam RKUHP mengenai tindak pidana rekayasa kasus. Menurutnya pasal mengenai rekayasa kasus itu merupakan masukan dari banyak elemen masyarakat.
Dia menambahkan pasal tentang rekayasa kasus ini belum terdapat dalam naskah RKUHP. "Suka ada keluhan tidak terjadi tindak pidana narkotika tapi narkotikanya ditaruh di mobil, diilempar, atau di mana gitu loh. (Pasal soal rekayasa kasus) ini untuk memastikan penegakan hukum kita memang penegakan hukum yang bukan hanya adil tetapi juga benar dan tidak dibuat-buat," ujar Arsul.
Karena itu nantinya, lanjut Arsul, pelaku dari rekayasa kasus itu apakah penegak hukum atau bukan, juga harus dipidana.
Anggota Komisi III lainnya, Taufik Basari menegaskan DPR dan pemerintah sama-sama setuju pidana mati adalah alternatif terakhir hukuman. Terkait pasal mengenai makar, Taufik menyoroti selama Orde baru pasal tentang makar dipakai penguasa untuk mempertahankan kekuasaanya. Karena itu, dia mengusulkan supaya pasal makar ini ditafsirkan sesuai aslinya, yakni niat untuk melakukan serangan dengan kekerasan. Pembatasan ini diperlukan supaya tidak dipakai untuk mempertahakan politik kekuasaan.
Dia juga mengusulkan agar pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dibatasi dalam bentuk fitnah atau tuduhan yang diketahui tidak benar. Batasan ini diperlukan agar pasal tersebut tidak dipakai untuk kepentingan pemerintah yang otoriter dan untuk menjamin kebebasan berpendapat.
Taufik juga meminta pasal mengenai penghinaan terhadap pemerintah dan kekuasaan umum atau lembaga negara, dibatasi yang dimaksud penghinaan adalah perbuatan berupa fitnah.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M.Isnur menilai belum ada perbaikan pada pasal-pasal yang dinilai bermasalah di RKUHP. Menurutnya RKUHP masih memuat pasal karet, diataranya pasal penghinaan kepada pemerintah yang dinilainya dapat mengancam kebebasan berekspresi.
“Misalnya untuk pasal penghinaan untuk pejabat umum, penguasa, pemerintah, lembaga negara, presiden, itu pasal-pasal yang suka berbahaya karena juga akan mengancam semua orang. Yang kritis bisa kena,”ujar Isnur. [fw/ab]
Forum