Sejumlah anggota parlemen Malaysia dan kelompok-kelompok HAM, Rabu (24/2), menuntut pemerintah menjelaskan alasan mendeportasi 1.086 migran Myanmar. Langkah pemerintah itu, menurut mereka, melanggar perintah pengadilan dan membahayakan nyawa para migran menyusul kudeta militer di Myanmar.
Sebuah pengadilan tinggi Malaysia, Selasa (23/2), memerintahkan penundaan pemulangan 1.200 warga negara Myanmar sementara menunggu banding dari Amnesty International Malaysia dan Asylum Access Malaysia, yang mengatakan bahwa ada pengungsi, pencari suaka dan anak di bawah umur di antara kelompok migran itu.
Tetapi beberapa jam kemudian, Departemen Imigrasi Malaysia mengatakan telah mengirim pulang 1.086 di antara mereka dengan tiga kapal militer Myanmar. Mereka bersikeras bahwa tidak ada pengungsi dan pencari suaka di kapal-kapal itu, dan semuanya secara sukarela setuju untuk kembali ke tanah air mereka.
Tindakan itu adalah “petunjuk yang jelas bahwa pemerintah Malaysia tidak menghormati proses pengadilan yang sedang berlangsung dan telah menempatkan Malaysia dalam posisi buruk di bidang HAM, '' kata empat anggota parlemen oposisi dalam sebuah pernyataan mereka.
Mereka mengatakan pemerintah harus mengungkapkan secara rinci 1.086 migran yang dideportasi, mengungkapkan apakah ada anak-anak di antara mereka yang dipulangkan, dan menjelaskan bagaimana persetujuan diperoleh dari para migran itu.
Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan bahwa setidaknya enam orang di antara 1.200 migran yang terdaftar di lembaga itu. Dua kelompok HAM dalam gugatan mereka menyebutkan setidaknya tiga pemegang kartu UNHCR dan 17 anak di bawah umur berada di antara para migran itu.
Kedua kelompok itu mengatakan, Rabu, pengadilan telah memerintahkan penundaan deportasi dari 114 migran yang tersisa sambil menunggu keputusan pengadilan pada 9 Maret apakah akan mendengarkan banding mereka.
New Sin Yew, pengacara sebuah kelompok HAM, mengatakan pengadilan juga akan memutuskan bagaimana menangani Departemen Imigrasi karena melanggar perintah untuk menghentikan deportasi.
“Pemerintah perlu memberi penjelasan kepada rakyat Malaysia mengapa mereka memilih untuk menentang perintah pengadilan, dan mengabaikan identitas dan status seluruh 1.200 migran itu, '' kata direktur Amnesty Malaysia Katrina Jorene Maliamauv.
“Ada bukti yang jelas dan terdokumentasi mengenai peningkatan pelanggaran HAM di Myanmar sejak kudeta awal bulan ini. Oleh karena itu, tidak ada deportasi ke Myanmar yang dapat dianggap sebagai kegiatan normal, '' katanya.
Kelompok-kelompok HAM mengulangi seruan mereka kepada pemerintah Malaysia untuk memberi UNHCR akses ke para migran untuk memeriksa klaim mereka. Akses UNHCR ke pusat-pusat penahanan imigrasi telah diblokir sejak Agustus 2019.
Departemen Imigrasi sebelumnya mengatakan para migran ditahan tahun lalu karena berbagai pelanggaran termasuk tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah, melampaui batas izin tinggal, dan melanggar izin kunjungan sosial.
Malaysia tidak mengakui pencari suaka atau pengungsi, dan sering memperlakukan mereka sebagai migran tidak berdokumen. Tapi negara itu mengizinkan mereka tinggal dalam jumlah besar karena alasan kemanusiaan. Malaysia menampung sekitar 180.000 pengungsi dan pencari suaka PBB -- termasuk lebih dari 100.000 Rohingya dan anggota kelompok-kelompok etnis Myanmar lainnya. [ab/uh]