Puluhan ribu mahasiswa berunjuk rasa di sejumlah daerah, mendesak DPR membatalkan beberapa rancangan undang-undang RUU, antara lain diantaranya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto meminta semua mahasiswa untuk menghentikan unjuk rasa. Namun mahasiswa tak bergeming dan hingga jauh malam ribuan mahasiswa masih mengepung gedung DPR Jakarta.
Mahasiswa di berbagai kota turun ke jalan memprotes pengesahan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Mereka juga menuntut Dewan Perwakilan Rakyat membatalkan rencana pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemasyarakatan karena dinilai menguntungkan koruptor dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dipandang mengekang kebebasan warga negara.
Unjuk rasa mahasiswa ini terjadi sejak pekan lalu di berbagai kota, termasuk di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan Jember. Jumlah mereka terus bertambah dan sebagian sempat memicu bentrokan dengan aparat keamanan, seperti yang berlangsung di depan gedung parlemen di kawasan Senayan, Jakarta, sepanjang hari Selasa (24/9).
Dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Selasa (24/9), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto meminta semua mahasiswa menghentikan unjuk rasa. Menurutnya demonstrasi yang digelar sudah tidak relevan lagi karena Presiden Joko Widodo sudah memutuskan untuk menunda pembahasan RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP hingga masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 dimulai.
Wiranto juga menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo setuju mengenai penguatan KPK, dengan menolak desakan untuk membatalkan revisi Undang-undang KPK dan justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).
Menurut Wiranto, pemerintah tidak serta merta menerima revisi Undang-undang KPK, dan sedang melakukan kajian mendalam demi keberlangsungan sistem ketatanegaraan yang sehat.
"Bukan pelemahan KPK. Sekali lagi, bukan pelemahan KPK. Tapi justru pemerintah mengharapkan ini langkah-langkah untuk penguatan KPK di belakang hari. Tidak mungkin seperti yang diisukan bahwa pemerintah atau Presiden Jokowi anti terhadap penanggulangan korupsi, nggak mungkin," kata Wiranto.
Wiranto menegaskan Presiden Joko Widodo sangat ingin memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, dan setelah mendengar masukan rakyat, presiden memutuskan menunda pengesahan RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP.
Ada beberapa pasal kontroversial dalam RUU Pemasyarakatan yang menjadi sorotan publik, antara lain bahwa narapidana kasus korupsi bisa mendapatkan pembebasan bersyarat tanpa memerlukan rekomendasi KPK, cukup rekomendasi dari dirjen pemasyarakatan. Selain itu, narapidana koruptor juga berhak mendapat cuti bersyarat dan boleh pulang ke rumah atau jalan-jalan ke mal dengan kawalan petugas.
Dalam RUU KUHP juga ada beberapa pasal kontroversial yang dinilai mengganggu iklim demokrasi. Seperti pidana penjara bagi pengkritik presiden serta pasal-pasal yang mengganggu privasi warga negara.
Wiranto meminta berbagai elemen masyarakat yang menolak RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP bisa menyampaikan masukan mereka melalui dialog dengan DPR atau pemerintah.
Pengamat : Komunikasi Politik Macet, Mahasiswa Turun ke Jalan
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai ada kemacetan dalam komunikasi politik sehingga demonstrasi merupakan langkah yang diambil oleh mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Terkait permintaan mahasiswa agar presiden Jokowi mengeluarkan Perppu UU KPK, menurut Bivitri Presiden Jokowi bisa mengeluarkan Perppu tanpa melihat siapa yang mengusulkan revisi UU KPK tersebut.
Bivitri juga menilai masih banyak pasal dalam RUU KUHP dan RUU pemasyarakatan yang mengancam demokrasi di Indonesia serta memberikan kelonggaran bagi koruptor. Antara lain bagaimana orang yang dinilai menghina presiden dapat dipidanakan, padahal Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan pidana terhadap presiden itu inkonstitusional dan melanggar HAM. Menurutnya banyak sekali dari RKUHP yang sebenarnya melanggar privasi warga negara misalnya soal tinggal bersama di luar pernikahan, perempuan yang melakukan aborsi dengan ancaman pidana 4 tahun,
Presiden Jokowi sebelumnya telah meminta DPR menunda pengesahan sejumlah RUU tersebut, menurut Bivitri jika presiden tidak setuju dengan pengesahan itu maka RUU tersebut tidak bisa menjadi Undang-undang.
“Sebenarnya di pasal 20 ayat 2 konstitusi kita dibilangnya kalau presiden tidak setuju maka tidak jadi undang-undang. Kalau DPR-nya tidak memenuhi besok atau kapanpun RUU mau disyahkan, menteri hukum dan ham sebagai perwakilan pemerintah bilang pemerintah tidak setuju maka UU itu tidak bisa jadi,” kata Bivitri.
Bivitri menambahkan pengesahan RUU KPK dapat menurunkan kepercayaan publik pada presiden, yang sedianya akan kembali memimpin Indonesia lima tahun ke depan. [fw/em]