JAKARTA —
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto melalui pesan singkatnya kepada VOA, Rabu (4/9) mengatakan posisi Pemerintah Pusat tetap berpedoman pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan menganut kepercayaannya masing-masing.
Menkopolhukam Djoko Suyanto yang saat ini tengah mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungan kerja ke Polandia, dalam pesan singkatnya menjelaskan tidak boleh ada pemaksaan dan tindak kekerasan oleh siapapun dan terhadap siapapun.
Hal itu menurut Djoko, yang menjadi kesimpulan dalam rapat yang membahas permohonan pembubaran Ahmadiyah beberapa waktu lalu di kantor Kementrian Polhukam Jakarta. Turut hadir dalam rapat yang dipimpin oleh Sekretaris Menkopolhukam Langgeng Sulistyono tersebut, Pemerintah kota Bekasi yang dihadiri oleh Walikota Bekasi, Ketua DPRD Bekasi dan Ketua MUI Bekasi .
Rapat itu juga dihadiri Direktorat Jendral Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri, Direktorat Jendral Bimas Islam Kementrian Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, perwakilan TNI dan Badan Intelijen Negara.
Menkopolhukam Djoko Suyanto juga menambahkan, Kemenkopolhukam tetap berpegang pada UUD 1945 dan UU no 1/PNPS/1965 serta implementasi Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri dalam menjaga kerukunan umat beragama dan kepercayaan masing-masing.
Sebelumnya dalam rapat bersama dengan Menko Kesra, Menteri Agama, dan Menteri Pertahanan pada Mei 2013 lalu, Menkopolhukam Djoko Suyanto menegaskan telah menginstruksikan kepada jajaran kepolisian dan intelijen agar memberikan perlindungan terhadap jemaat Ahmadiyah dan menindak tegas siapapun yang melakukan tindak kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah.
"Itu instruksi yang sangat jelas bukan hanya terhadap kepolisian tetapi juga terhadap aparat intelijen. Dinamika di masyarakat itu sejak dini harus dipantau. Sehingga indikasi itu bisa ditangkap lebih awal, polisi bisa bertindak lebih awal. Jadi terhadap siapapun, pendekatannya adalah hukum. Siapapun yang melakukan tindak kekerasan terhadap ahmadiyah ya harus pendekatan dihukum," tegas Djoko Suyanto.
Menanggapi hal itu, Koordinator Ketua MUI Pusat Ma’ruf Amin kepada VOA menegaskan, MUI tetap akan mendesak pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah karena dianggap telah menyimpang.
"Kalau MUI itu kan memang mintanya (Ahmadiyah) dibubarkan. Karena telah melakukan penodaan agama. Dia menyimpang dari prinsip-prinsip yang disepakati. Jadi ada penyimpangan. Jadi kalau pemerintah belum memenuhi, tentu MUI masih terus menghendaki Ahmadiyah dibubarkan," kata Ma'ruf Amin.
Sementara itu, Setara Institute menyambut baik ketegasan sikap dari Pemerintah terkait keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos kepada VOA mengatakan kebebasan berserikat mendapat perlindungan di Indonesia.
"Kalau posisi Pemerintah semacam itu menurut kami adalah suatu kemajuan ya. Karena memang tidak beralasan untuk membubarkan Ahmadiyah," kata Bonar Tigor.
"Kita tunggulah kesungguhan dari Pemerintah Pusat mengenai hal ini. Terutama karena kita tau 'kan di banyak daerah komunitas Ahmadiyah mengalami banyak tekanan. Bahkan mereka mengalami diskriminasi berlapis. Bukan hanya diskriminasi soal keyakinan tapi juga diskriminasi sosial," lanjutnya.
Terkait sikap dari MUI yang tetap menginginkan Ahmadiyah dibubarkan, Bonar Tigor Naipospos mengatakan negara tidak perlu menuruti keinginan MUI karena Indonesia adalah negara demokratis.
"Tidak beralasan kemudian MUI meminta negara untuk membubarkan Ahmadiyah. Itu sudah sesuatu hal yang berbeda. Indonesia kan menganut negara hukum, negara demokratis. Fatwa MUI itu bukan sesuatu yang mengikat. Negara tidak perlu menuruti fatwa MUI karena Indonesia bukan negara agama. Biarkan saja MUI berpendapat begitu, tapi negara tidak bisa menuruti kehendak MUI," jelas Bonar Tigor.
Sebelumnya melalui surat tertanggal 26 Juni 2013 Pemerintah Kota Bekasi mengajukan permintaan pembubaran Ahmadiyah kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden diminta menerbitkan Keputusan Presiden mengenai ajaran Ahmadiyah apakah dilarang atau tetap diakui asal tidak membawa nama Islam.
Menkopolhukam Djoko Suyanto yang saat ini tengah mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungan kerja ke Polandia, dalam pesan singkatnya menjelaskan tidak boleh ada pemaksaan dan tindak kekerasan oleh siapapun dan terhadap siapapun.
Hal itu menurut Djoko, yang menjadi kesimpulan dalam rapat yang membahas permohonan pembubaran Ahmadiyah beberapa waktu lalu di kantor Kementrian Polhukam Jakarta. Turut hadir dalam rapat yang dipimpin oleh Sekretaris Menkopolhukam Langgeng Sulistyono tersebut, Pemerintah kota Bekasi yang dihadiri oleh Walikota Bekasi, Ketua DPRD Bekasi dan Ketua MUI Bekasi .
Rapat itu juga dihadiri Direktorat Jendral Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri, Direktorat Jendral Bimas Islam Kementrian Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, perwakilan TNI dan Badan Intelijen Negara.
Menkopolhukam Djoko Suyanto juga menambahkan, Kemenkopolhukam tetap berpegang pada UUD 1945 dan UU no 1/PNPS/1965 serta implementasi Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri dalam menjaga kerukunan umat beragama dan kepercayaan masing-masing.
Sebelumnya dalam rapat bersama dengan Menko Kesra, Menteri Agama, dan Menteri Pertahanan pada Mei 2013 lalu, Menkopolhukam Djoko Suyanto menegaskan telah menginstruksikan kepada jajaran kepolisian dan intelijen agar memberikan perlindungan terhadap jemaat Ahmadiyah dan menindak tegas siapapun yang melakukan tindak kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah.
"Itu instruksi yang sangat jelas bukan hanya terhadap kepolisian tetapi juga terhadap aparat intelijen. Dinamika di masyarakat itu sejak dini harus dipantau. Sehingga indikasi itu bisa ditangkap lebih awal, polisi bisa bertindak lebih awal. Jadi terhadap siapapun, pendekatannya adalah hukum. Siapapun yang melakukan tindak kekerasan terhadap ahmadiyah ya harus pendekatan dihukum," tegas Djoko Suyanto.
Menanggapi hal itu, Koordinator Ketua MUI Pusat Ma’ruf Amin kepada VOA menegaskan, MUI tetap akan mendesak pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah karena dianggap telah menyimpang.
"Kalau MUI itu kan memang mintanya (Ahmadiyah) dibubarkan. Karena telah melakukan penodaan agama. Dia menyimpang dari prinsip-prinsip yang disepakati. Jadi ada penyimpangan. Jadi kalau pemerintah belum memenuhi, tentu MUI masih terus menghendaki Ahmadiyah dibubarkan," kata Ma'ruf Amin.
Sementara itu, Setara Institute menyambut baik ketegasan sikap dari Pemerintah terkait keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos kepada VOA mengatakan kebebasan berserikat mendapat perlindungan di Indonesia.
"Kalau posisi Pemerintah semacam itu menurut kami adalah suatu kemajuan ya. Karena memang tidak beralasan untuk membubarkan Ahmadiyah," kata Bonar Tigor.
"Kita tunggulah kesungguhan dari Pemerintah Pusat mengenai hal ini. Terutama karena kita tau 'kan di banyak daerah komunitas Ahmadiyah mengalami banyak tekanan. Bahkan mereka mengalami diskriminasi berlapis. Bukan hanya diskriminasi soal keyakinan tapi juga diskriminasi sosial," lanjutnya.
Terkait sikap dari MUI yang tetap menginginkan Ahmadiyah dibubarkan, Bonar Tigor Naipospos mengatakan negara tidak perlu menuruti keinginan MUI karena Indonesia adalah negara demokratis.
"Tidak beralasan kemudian MUI meminta negara untuk membubarkan Ahmadiyah. Itu sudah sesuatu hal yang berbeda. Indonesia kan menganut negara hukum, negara demokratis. Fatwa MUI itu bukan sesuatu yang mengikat. Negara tidak perlu menuruti fatwa MUI karena Indonesia bukan negara agama. Biarkan saja MUI berpendapat begitu, tapi negara tidak bisa menuruti kehendak MUI," jelas Bonar Tigor.
Sebelumnya melalui surat tertanggal 26 Juni 2013 Pemerintah Kota Bekasi mengajukan permintaan pembubaran Ahmadiyah kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden diminta menerbitkan Keputusan Presiden mengenai ajaran Ahmadiyah apakah dilarang atau tetap diakui asal tidak membawa nama Islam.