Tautan-tautan Akses

Pemerintahan Baru Perlu Perluas Keterlibatan Ormas Sipil dalam Tangani Deradikalisasi Eks Napiter


Delapan terpidana terorisme di Sumatra Utara yang bersumpah setia kepada Republik Indonesia. Rabu, 9 Maret 2022. (Sumber: Humas Kemenkumham Sumatra Utara)
Delapan terpidana terorisme di Sumatra Utara yang bersumpah setia kepada Republik Indonesia. Rabu, 9 Maret 2022. (Sumber: Humas Kemenkumham Sumatra Utara)

The Habibie Center menilai pemerintahan baru mendatang perlu memperluas keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society Organizations/CSO) untuk membantu upaya deradikalisasi dan reintegrasi mantan narapidana terorisme (Napiter) yang telah bebas di Indonesia.

Peneliti The Habibie Center Johari Efendi mengungkapkan dari Program Psiko-Sosial Untuk Poso yang Lebih Kuat (Proposoku) 2022-2024 di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, pihaknya mendapati Organisasi Masyarakat Sipil mendapat kepercayaan yang tinggi dari mantan napiter untuk mendiskusikan keinginan dan kebutuhan mereka.

“Contohnya teman-teman eks narapidana teroris di Poso kalau mau tanya bantuan sosial, mereka agak takut datang ke pemerintah kabupaten. Justru mereka datang ke satu lembaga namanya LPMS (Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil-red). Jadi kayak tanya ke LPMS ‘tolong tanyakan dong ke kabupaten program apa yang bisa kita akses’, Jadi saya pikir kepercayaan ini menjadi menarik ya, itu bisa jadi satu modal sebetulnya,” kata Johari Efendi saat menjadi narasumber dalam Diskusi Bicara Terorisme bertema Tantangan Penanganan Terorisme di Masa Pemerintahan Baru, Kamis (16/5).

Menurut Johari, CSO dapat berperan membantu upaya reintegrasi atau penyatuan kembali mantan napiter ke tengah masyarakat melalui pendekatan psikososial. Program Proposoku pada 2022 hingga 2024 telah diikuti 120 orang yang terdiri atas 80 mantan napiter dan pasangan mereka, juga 40 tokoh masyarakat dan perwakilan pemerintah. Para mantan napiter itu dilatih keterampilan usaha, pengelolaan keuangan serta kecakapan berkomunikasi dengan orang lain.

Hendro (kedua dari kiri) bersama pengurus Yayasan DeBintal yang lain merupakan para eks-napiter yang telah sukses menjalani deradikalisasi (Courtesy Yayasan DeBintal)
Hendro (kedua dari kiri) bersama pengurus Yayasan DeBintal yang lain merupakan para eks-napiter yang telah sukses menjalani deradikalisasi (Courtesy Yayasan DeBintal)

“Kita perlu sebetulnya membangun figur-figur, bagaimana kita menciptakan credible voices, kalau saya berbicara mengenai deradikalisasi, disengagement mungkin orang tidak terlalu percaya. Tapi kalau mereka sendiri yang pernah ikut dalam program kita menjadi credible voices, memengaruhi rekan-rekan mereka proses itu akan menjadi lebih baik sebetulnya,” jelas Johari.

Menurutnya penting agar dalam pemerintahan baru mendatang, pelibatan organisasi masyarakat sipil semakin diperluas untuk membantu upaya deradikalisasi dan reintegrasi bagi mantan narapidana terorisme.

Mantan Napiter Ada yang Menolak Ikut Deradikalisasi

Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol Ibnu Suhendra mengungkapkan terdapat 1.591 mantan napiter yang menjadi sasaran deradikalisasi oleh BNPT.

Dari jumlah itu baru 658 di antaranya yang telah mengikuti deradikalisasi. Sisanya 364 orang belum mengikuti, 422 orang tidak mau mengikuti dan 147 orang belum diketahui keinginannya. Dia mengakui bahwa dibutuhkan kepedulian masyarakat dan komponen CSO untuk terlibat dalam upaya deradikalisasi tersebut.

Yayasan DeBintal, bekerja sama dengan BLK Panasonic, mengadakan pelatihan perawatan pendingin ruangan bagi para eks-napiter sebagai bagian dari pemberdayaan mereka (Courtesy Yayasan DeBintal)
Yayasan DeBintal, bekerja sama dengan BLK Panasonic, mengadakan pelatihan perawatan pendingin ruangan bagi para eks-napiter sebagai bagian dari pemberdayaan mereka (Courtesy Yayasan DeBintal)

“Sejelek-jeleknya teroris, yang tidak mau dideradikalisasi, ini tetap warga negara kita, ini saudara kita, harus kita urusin,” kata Irjen Pol Ibnu Suhendra.

Deradikalisasi bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi. Selain kepada napiter dan mantan napiter, deradikalisasi juga dilakukan pada orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal-terorisme.

Berdasarkan data BNPT per April 2024, terdapat 2.059 mantan napiter di hampir seluruh Indonesia. Sekitar 43 persen di antaranya bebas bersyarat atau bersedia menyatakan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Residivis Terorisme Masih Jadi Ancaman

Menurut Irjen Pol Ibnu Suhendra fenomena residivis terorisme masih menjadi salah satu potensi ancaman terorisme ke depan pada pemerintahan baru. Sejauh ini, sebanyak 103 mantan napiter kembali melakukan aksi teror atau terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada tindak pidana terorisme.

Sebanyak 13 orang dari jumlah residivis itu bahkan diketahui sempat mengikuti program deradikalisasi. Aksi teror terakhir di Tanah Air adalah kasus bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat pada 7 Desember 2022. Teror itu juga dilakukan oleh seorang mantan napiter bernama Agus Sujatno alias Abu Muslim.

Para anggota Densus 88 membawa perlengkapan dan senjata mereka setelah melakukan penggerebekan di rumah yang ditempati oleh militan di Kabupaten Bandung. (Foto: AP)
Para anggota Densus 88 membawa perlengkapan dan senjata mereka setelah melakukan penggerebekan di rumah yang ditempati oleh militan di Kabupaten Bandung. (Foto: AP)

“Kita semua harus atensi ini, 103 eks napiter kembali menjadi pelaku teror, termasuk salah satunya adalah Agus Muslim yang menjadi pelaku bom bunuh diri Astana Anyar. Sudah kita biayai untuk usaha, sudah kita biayai untuk makan sehari-hari tetap menjadi pelaku bom bunuh diri,” kata Irjen Pol Ibnu Suhendra.

Menurutnya potensi ancaman ini harus menjadi perhatian karena mantan napiter tersebar di berbagai wilayah, terbanyak berada di Jawa Barat dengan jumlah 356 orang, menyusul Jawa Tengah sebanyak 300 orang, Jawa Timur berjumlah 187 orang dan Sulawesi Tengah sebanyak 170 orang.

Kemampuan Penindakan Terorisme

Ali Abdullah Wibisono, Dosen Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia mengatakan ada sejumlah isu penanggulangan teror yang perlu menjadi perhatian di antaranya ancaman terorisme domestik atau ekstremisme kekerasan berdasarkan identitas etnis, serta perlunya memperkuat upaya pencegahan pendanaan terorisme.

Menghadapi tantangan itu, katanya, Indonesia telah memiliki kemampuan penindakan yang efektif dilihat dari tingginya angka penangkapan terduga teroris yang mencapai di atas 100 penangkapan per tahun 2018.

“Kalau kita lihat proceeding pengadilan di Mahkamah Agung itu hukuman-hukumannya 1 sampai 3 tahun, ini PR (pekerjaan rumah-red) deradikalisasi reintegrasinya agak berat. Jadi saya kira ini menyiratkan adanya keperluan kerja sama dengan aktor-aktor non-negara, CSO di Indonesia yang sudah giat dengan deradikalisasi,” kata Ali Abdullah Wibisono.

Pemerintahan Baru Perlu Perluas Keterlibatan Ormas Sipil dalam Tangani Deradikalisasi Eks Napiter
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:02 0:00

The Habibie Center dalam siaran persnya, Kamis (16/5) menyatakan data dari Densus 88 Polri menunjukkan bahwa sepanjang 2023, telah dilakukan penangkapan terhadap 142 terduga pelaku tindak pidana terorisme dari berbagai kelompok di Indonesia. Wilayah-wilayah tertentu, seperti Poso, tetap menjadi titik rawan dengan adanya kasus-kasus terorisme yang muncul secara periodik.

Operasi keamanan seperti Madago Raya yang telah berlangsung sejak 2016 di Poso masih terus dilakukan. Namun tantangan baru terus muncul seperti penangkapan delapan orang yang mengikuti pelatihan paramiliter jaringan teror di wilayah tersebut pada April 2024. [yl/lt]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG