Polisi di Republik Demokratik Kongo hari Jumat (23/12) menembakkan gas air mata ke arah pendukung pemimpin oposisi Etienne Tshisekedi yang berkumpul di ibukota Kinshasa untuk menghadiri upacara “pelantikan” yang dilakukannya sendiri.
Pemimpin oposisi Kongo, Etienne Tshisekedi berusaha melaksanakan upacara pelantikan di stadion Martyr, Kinshasa, setelah menolak hasil pemilu tanggal 28 November, yang menurut pengamat internasional sangat cacat.
Berbagai laporan dari Kinshasa mengatakan polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan pendukung oposisi yang telah berkumpul di dekat stadion itu.
Jacquemin Shabani, Sekjen partai oposisi Persatuan bagi Demokrasi dan Kemajuan Sosial atau UDPS mengatakan pada VOA lebih dari lima orang tewas.
Shabani mengatakan ia mendengar beberapa tembakan senjata dan mengatakan Tshidekedi tidak bisa keluar dari rumahnya yang diawasi militer.
Bernadette Mpundu, juru bicara partai politik Presdien Joseph Kabila menyangkal bahwa polisi berusaha mencegah rapat umum di stadion itu, atau membatasi ruang gerak pemimpin oposisi itu.
Ia mengatakan, “Pemerintah memang bertugas menjaga agar keadaan tetap damai di kota dan di seluruh negeri dan semuanya dilakukan untuk menenangkan orang-orang. Jadi tentara memang dikerahkan, itu benar. Tetapi Tshisekedi adalah orang yang benar-benar bebas.”
Mpundu juga mengatakan pemerintah tidak berniat menahan Tshisekedi yang menurutnya akan memberi Tshisekedi “kedudukan penting yang tidak dimilikinya.” Dia menambahkan belum jelas apakah pemerintah akan mempertahankan hubungan politik dengan pemimpin pihak oposisi itu. “Tshisekedi tidak mengakui bahwa pemerintahan sudah ada, jadi bagaimana kami bisa bekerjasama dengannya?,” ujar Mpundu.
Presiden Kabila telah dilantik hari Selasa, setelah komisi pemilihan umum negara itu mengumumkan dia sebagai pemenang pemilu dengan 49 persen suara, sementara Tshisekedi mendapat 32 persen suara.
Uni Eropa dan Amerika telah mempertanyakan keabsahan hasil pemilu itu. Carter Center yang berkantor di Amerika mengatakan beberapa hasil pemilu itu menunjukkan perolehan suara bagi Kabila terlalu tinggi sehingga dianggap mustahil.
Sementara itu negara itu masih diambang bentrokan yang berkelanjutan. Hari Kamis, Human Rights Watch mengatakan sedikitnya 24 orang tewas dalam kekerasan pasca pemilu.