Sejak masa tenang, petugas telah menurunkan dan mengumpulkan seluruh alat peraga kampanye. Spanduk, bendera, dan baliho berbagai ukuran pun siap dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
Namun membuang material itu ke TPA akan mencemari lingkungan, karenanya lebih baik didaur ulang. “Bahan spanduk ini di TPA jadi residu, tidak jadi apa-apa,” ujar Gadis Prameswari, co-founder Parongpong, organisasi pengolah limbah di Kabupaten Bandung Barat.
Belum ada perhitungan pasti jumlah sampah alat peraga di seluruh Indonesia, namun di Jakarta saja ada 260 ribu lebih. Bandung juga mengalami tumpukan sampah ini.
Parongpong pun menggagas “The Trash Bag Project”, mengumpulkan material spanduk dan mengubahnya jadi tas sampah berbagai ukuran. Postingan Parongpong di Instagram pun mendapat sambutan baik dengan 4 ribuan likes.
Di samping masyarakat umum, Parongpong bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Cimahi.
“Sebenarnya akhirnya kami (sempat) kontaknya hanya Bawaslu Cimahi, Bandung malah tidak. Ini dari Cimahi aja, sebanyak ini,” ujar Gadis seraya menunjukkan sampah spanduk dari Bawaslu menutupi teras kantor Parongpong.
“Sebenarnya kalau pas udah melihat seperti ini dan melihat tumpukan material ini tidak terpakai, pasti semua orang gatal. Saya yakin banget. Kalau ngomongin urgensi, saat sampahnya ada di depan kita, kita pasti terganggu dan pasti tergerak untuk melakukan sesuatu,” tambah Gadis.
Tas-tas dari spanduk kampanye itu akan dimanfaatkan dalam acara Happiness Festival 2019, 27-28 April 2019 di Jakarta.
Kesadaran Mengolah Sampah
Namun ‘The Trash Bag Project’ hanyalah satu dari banyak kiprah organisasi ini. Pendiri Parongpong, Rendy Aditya Wachid, mengatakan sudah mulai meningkatkan kesadaran masyarakat sejak 2017.
“Kami mengikuti banyak festival untuk menginspirasi klien dan partner potensial. Saat ini kami secara aktif melakukan riset dalam sampah makanan, sampah fesyen, sampah rumah tangga, dengan mitra-mitra kami,” jelasnya kepada VOA.
Lulusan MBA Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, pada 2019, Parongpong akan fokus mempromosikan sistem pengolahan sampah terpadu dan habitat tanpa sampah (zero waste habitat).
“Saya memulai Parongpong dengan tujuan menjadi inisiator komunitas lokal bebas sampah pertama di Indonesia pada 2022,” tambahnya lagi.
Parongpong adalah nama daerah Rendy dan Gadis tinggal. Parongpong dikenal karena dekat dengan area wisata Lembang Bandung dan area pertanian yang luas. Nama Parongpong dalam bahasa Sunda berarti ‘kosong’ yang secara pas mewakili semangat tanpa sampah organisasi ini.
Untuk mengedukasi publik, Parongpong telah menggelar setidaknya 50 project, dari mengikuti festival di berbagai daerah sampai membuat purwarupa mesin pengolah sampah. Saat ini, Parongpong tengah mengembangkan purwarupa ‘high performance micro house’, sebuah hunian ramah lingkungan, bernama RAWHAUS.
“Karena sampah adalah masalah rumit, tidak ada solusi sederhana,” tukas Rendy.
Lewat berbagai upaya ini, Rendy dan Gadis berharap bisa menjadikan tempat tinggalnya bebas sampah pada 3 tahun lagi.
“Itu mimpinya buat kami dulu. Kalau misalnya disuruh ini jadi solusi seluruh Indonesia, seluruh Jawa, tidak mampu juga deh kayaknya. Kenapa namanya Parongpong karena cita-citanya setidaknya di sini dulu, satu daerah kecil sebenarnya,” jelas Gadis lagi. [rt/em]