HONG KONG —
Seiring berjalannya pencarian pesawat Malaysia yang memasuki hari ke-16 dan kemungkinan terlihatnya puing-puing dilaporkan dari lepas pantai barat Australia, pemerintah Malaysia masih bergulat dengan respon terhadap keluarga para penumpang dan mencegah dampak negatif diplomatik.
Para analis mengatakan insiden ini menyoroti kebutuhan akan kerjasama regional yang lebih baik.
Setelah para keluarga penumpang yang hilang secara publik mengecam cara pmerintah Malaysia menangani misteri ini, otoritas di Kuala Lumpur mengumumkan mereka akan mengirim delegasi ke Beijing, tempat ratusan kerabat dengan gelisah menanti setiap temuan yang dapat diandalkan.
Langkah ini adalah upaya lebih jauh dari pemerintah Malaysia untuk memperbaiki langkah-langkah yang keliru sebelumnya, yang mengundang kritikan dari China, tempat asal sebagian besar penumpang pesawat.
Namun lebih dari fokus pada bagaimana sebuah negara menangani krisis, para analis mengatakan upaya menemukan pesawat ini menununjukkan kurangnya respon regional yang terkoordinasi.
"Saya kira ini menyoroti bahwa Asia Tenggara masih merupakan wilayah yang dilihat dari kebijakan nasional, prioritas nasional," ujar Nicholas Thomas, profesor tata kelola regional Asia di City University, Hong Kong.
Para pejabat setingkat menteri dan kepala negara di wilayah ini secara rutin berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan urusan keamanan dan militer lewat Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN).
Negara-negara di wilayah ini, termasuk China dan Amerika Serikat, juga secara teratur ikut serta dalam latihan militer untuk bertukar informasi dan meningkatkan kemampuan dalam melawan terorisme. Namun para analis mengatakan kerjasama dalam misi pencarian dan penyelamatan sejauh ini terabaikan.
Upaya-upaya terkuat, menurut para analis, telah datang dari angkatan-angkatan laut. Pada 2010, kementerian-kementerian luar negeri ASEAN mengesahkan deklarasi mengenai misi gabungan pencarian dan penyelamatan untuk kapal yang terdesak.
Deklarasi tersebut mendorong negara-negara untuk membentuk kantor-kantor untuk misi-misi pencarian dan penyelamatan, berbagi informasi dan menyediakan dukungan jika kapal-kapal menghadapi situasi darurat di laut. Namun hal ini tidak termasuk penyediaan untuk peristiwa-peristiwa bencana seperti hilangnya pesawat MH370.
Thomas mengatakan salah satu hambatan dalam mengkoordinasikan misi pencarian dan penyelamatan yang efektif di Asia Tenggara adalah kesenjangan yang besar antara kekuatan regional.
"Wilayah-wilayah yang sulit dipetakan biasanya ada di daerah dengan kapasitas yang lebih rendah," ujar Thomas.
Amerika Serikat telah memainkan peran utama dalam keamanan maritim di Asia Tenggara, dan dalam beberapa tahun terakhir telah memperluas akses ke pangkalan-pangkalan militer di Australia dan Filipina.
China tidak memiliki pos-pos militer di luar negeri, namun telah membangun kemampuan angkatan lautnya dekat pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan.
Li Mingjiang, seorang analis keamanan yang berbasis di Singapura, mengatakan modernisasi militer China dapat membantu misi-misi pencarian dan penyelamatan.
"Selama bertahun-tahun China telah membangun kemampuannya. Sekarang negara itu memiliki semua perangkat keras dan teknologi yang tersedia, satelit dan kapabilitas pengawasan lainnya, jadi ini hanya masalah keputusan politik," ujarnya.
Li mengatakan negara-negara Asia Tenggara sebagian besar kurang memiliki kapasitas yang dibutuhkan dan akan menerima partisipasi lebih aktif dari China, seperti mereka menerima bantuan dari AS.
Ia menambahkan isu-isu keamanan non-tradisional, seperti koordinasi pencarian dan penyelamatan, bukan merupakan hal-hal yang sensitif.
Para analis mengatakan insiden ini menyoroti kebutuhan akan kerjasama regional yang lebih baik.
Setelah para keluarga penumpang yang hilang secara publik mengecam cara pmerintah Malaysia menangani misteri ini, otoritas di Kuala Lumpur mengumumkan mereka akan mengirim delegasi ke Beijing, tempat ratusan kerabat dengan gelisah menanti setiap temuan yang dapat diandalkan.
Langkah ini adalah upaya lebih jauh dari pemerintah Malaysia untuk memperbaiki langkah-langkah yang keliru sebelumnya, yang mengundang kritikan dari China, tempat asal sebagian besar penumpang pesawat.
Namun lebih dari fokus pada bagaimana sebuah negara menangani krisis, para analis mengatakan upaya menemukan pesawat ini menununjukkan kurangnya respon regional yang terkoordinasi.
"Saya kira ini menyoroti bahwa Asia Tenggara masih merupakan wilayah yang dilihat dari kebijakan nasional, prioritas nasional," ujar Nicholas Thomas, profesor tata kelola regional Asia di City University, Hong Kong.
Para pejabat setingkat menteri dan kepala negara di wilayah ini secara rutin berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan urusan keamanan dan militer lewat Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN).
Negara-negara di wilayah ini, termasuk China dan Amerika Serikat, juga secara teratur ikut serta dalam latihan militer untuk bertukar informasi dan meningkatkan kemampuan dalam melawan terorisme. Namun para analis mengatakan kerjasama dalam misi pencarian dan penyelamatan sejauh ini terabaikan.
Upaya-upaya terkuat, menurut para analis, telah datang dari angkatan-angkatan laut. Pada 2010, kementerian-kementerian luar negeri ASEAN mengesahkan deklarasi mengenai misi gabungan pencarian dan penyelamatan untuk kapal yang terdesak.
Deklarasi tersebut mendorong negara-negara untuk membentuk kantor-kantor untuk misi-misi pencarian dan penyelamatan, berbagi informasi dan menyediakan dukungan jika kapal-kapal menghadapi situasi darurat di laut. Namun hal ini tidak termasuk penyediaan untuk peristiwa-peristiwa bencana seperti hilangnya pesawat MH370.
Thomas mengatakan salah satu hambatan dalam mengkoordinasikan misi pencarian dan penyelamatan yang efektif di Asia Tenggara adalah kesenjangan yang besar antara kekuatan regional.
"Wilayah-wilayah yang sulit dipetakan biasanya ada di daerah dengan kapasitas yang lebih rendah," ujar Thomas.
Amerika Serikat telah memainkan peran utama dalam keamanan maritim di Asia Tenggara, dan dalam beberapa tahun terakhir telah memperluas akses ke pangkalan-pangkalan militer di Australia dan Filipina.
China tidak memiliki pos-pos militer di luar negeri, namun telah membangun kemampuan angkatan lautnya dekat pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan.
Li Mingjiang, seorang analis keamanan yang berbasis di Singapura, mengatakan modernisasi militer China dapat membantu misi-misi pencarian dan penyelamatan.
"Selama bertahun-tahun China telah membangun kemampuannya. Sekarang negara itu memiliki semua perangkat keras dan teknologi yang tersedia, satelit dan kapabilitas pengawasan lainnya, jadi ini hanya masalah keputusan politik," ujarnya.
Li mengatakan negara-negara Asia Tenggara sebagian besar kurang memiliki kapasitas yang dibutuhkan dan akan menerima partisipasi lebih aktif dari China, seperti mereka menerima bantuan dari AS.
Ia menambahkan isu-isu keamanan non-tradisional, seperti koordinasi pencarian dan penyelamatan, bukan merupakan hal-hal yang sensitif.