Eric Parks dan ibunya Ginger Smith telah lama bergulat dengan penyakit jiwa. Parks menderita gangguan bipolar. Gangguan psikotik pertama terjadi ketika ia berusia 19 tahun.
"Tidak banyak yang saya ingat, tetapi yang jelas itu adalah situasi yang buruk. Saya merasa sangat tidak enak, itu sudah pasti," tutur Parks.
Sedangkan ibunya, Ginger Smith mengatakan, "Itu adalah awal, dan kelanjutan dari masa menyedihkan selama bertahun-tahun bagi Eric dan masa yang sulit bagi keluarga."
Penyakit jiwa bisa membuat orang berpikir secara tidak rasional. Kecuali mendapat bantuan ahli, penderita sakit jiwa parah tidak mampu mengikuti jadwal tertentu, dan berhenti minum obat yang bisa membuat mereka merasa normal.
Ibu Parks sudah berusaha, tetapi tidak mampu membawa anak laki-lakinya supaya dirawat di rumah sakit.
Banyak rumah sakit di Amerika tidak merawat pasien gangguan jiwa. Rumah sakit yang memberi perawatan sakit jiwa sering memulangkan pasien setelah dirawat inap sebentar tanpa bantuan pakar kesehatan jiwa guna memastikan peralihan yang stabil. Pasien yang dipulangkan seringkali tidak punya uang untuk membeli obat atau untuk membayar perawatan kejiwaan lebih lanjut.
Parks akhirnya menjadi tunawisma, kelaparan, dan tanpa obat.
"Saya tidak mau dirawat. Saya berada dalam situasi di mana saya tidak mau mengakui bahwa saya menderita sakit jiwa atau harus minum obat," tuturnya.
Perbaikan sistem perawatan kesehatan jiwa di Amerika sangat dibutuhkan, menurut Wayne Lindstrom, kepala kelompok advokasi Mental Health America. Ia mengatakan,
"Kita memiliki sistem perawatan kesehatan jiwa, dan kita juga mempunyai sistem pengobatan fisik. Keduanya belum disatukan. Padahal sudah seharusnya mereka disatukan, karena begitu banyak masalah yang diderita anak-anak dan orang dewasa akibat gangguan kejiwaan yang sulit dibedakan asal usulnya, apakah hanya berasal dari kepala atau bagian tubuh lain."
Parks akan membutuhkan layanan rumah kelompok untuk beberapa tahun lagi. Tetapi ibunya, Ginger Smith, menunjuk pada kemajuan kondisi anaknya dan marah melihat cara pejabat-pejabat pemerintah maupun media menggambarkan orang yang sakit jiwa.
"Tidak banyak yang saya ingat, tetapi yang jelas itu adalah situasi yang buruk. Saya merasa sangat tidak enak, itu sudah pasti," tutur Parks.
Sedangkan ibunya, Ginger Smith mengatakan, "Itu adalah awal, dan kelanjutan dari masa menyedihkan selama bertahun-tahun bagi Eric dan masa yang sulit bagi keluarga."
Penyakit jiwa bisa membuat orang berpikir secara tidak rasional. Kecuali mendapat bantuan ahli, penderita sakit jiwa parah tidak mampu mengikuti jadwal tertentu, dan berhenti minum obat yang bisa membuat mereka merasa normal.
Ibu Parks sudah berusaha, tetapi tidak mampu membawa anak laki-lakinya supaya dirawat di rumah sakit.
Banyak rumah sakit di Amerika tidak merawat pasien gangguan jiwa. Rumah sakit yang memberi perawatan sakit jiwa sering memulangkan pasien setelah dirawat inap sebentar tanpa bantuan pakar kesehatan jiwa guna memastikan peralihan yang stabil. Pasien yang dipulangkan seringkali tidak punya uang untuk membeli obat atau untuk membayar perawatan kejiwaan lebih lanjut.
Parks akhirnya menjadi tunawisma, kelaparan, dan tanpa obat.
"Saya tidak mau dirawat. Saya berada dalam situasi di mana saya tidak mau mengakui bahwa saya menderita sakit jiwa atau harus minum obat," tuturnya.
Perbaikan sistem perawatan kesehatan jiwa di Amerika sangat dibutuhkan, menurut Wayne Lindstrom, kepala kelompok advokasi Mental Health America. Ia mengatakan,
"Kita memiliki sistem perawatan kesehatan jiwa, dan kita juga mempunyai sistem pengobatan fisik. Keduanya belum disatukan. Padahal sudah seharusnya mereka disatukan, karena begitu banyak masalah yang diderita anak-anak dan orang dewasa akibat gangguan kejiwaan yang sulit dibedakan asal usulnya, apakah hanya berasal dari kepala atau bagian tubuh lain."
Parks akan membutuhkan layanan rumah kelompok untuk beberapa tahun lagi. Tetapi ibunya, Ginger Smith, menunjuk pada kemajuan kondisi anaknya dan marah melihat cara pejabat-pejabat pemerintah maupun media menggambarkan orang yang sakit jiwa.