Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa tingkat testosteron para ayah lebih rendah dari laki-laki yang tidak menjadi ayah. Namun, pakar antropologi biologis Universitas Northwestern, Christopher Kuzawa, mengatakan kemungkinan sedikitnya ada dua penjelasan.
“Apakah menjadi seorang ayah mengurangi tingkat testosterone? Atau apakah laki-laki yang punya tingkat testosteron rendah lebih besar kemungkinannya menjadi ayah? Kami mengamati sejumlah laki-laki selama jangka panjang dan mengukur hormon mereka sebelum dan setelah mereka menjadi ayah,” papar Kuzawa.
Kuzawa dan rekan-rekannya memanfaatkan penelitian jangka panjang terhadap sekelompok laki-laki di Filipina yang tingkat testosteronnya diukur pada tahun 2005 dan 2009. Dalam jangka waktu itu, sebagian laki-laki menjadi ayah, dan lainnya tidak.
“Laki-laki yang menjadi ayah itu mengalami penurunan tingkat testosteron terbesar,” papar Kuzawa lebih lanjut.
Kuzawa menemukan bahwa tingkat testosteron turun setengahnya segera setelah kelahiran anak, kemudian naik sedikit. Produksi hormon testosteron laki-laki yang aktif ikut mengasuh anak-anak mereka lebih rendah dari laki-laki yang tidak mengasuh.
Mungkin saja laki-laki punya tingkat testosteron yang rendah, sehingga bisa lebih memusatkan perhatian dalam pengasuhan anak.
Penelitian Kurazawa dan rekan-rekannya itu diterbitkan online dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.