Para peneliti di Australia melakukan eksperimen laboratorium untuk memastikan apakah ganja dapat diubah menjadi obat kanker kulit di masa depan.
Mereka mengatakan, sebagian besar kasus melanoma berakhir fatal dengan hanya kurang dari 15 persen pasien bertahan hidup lebih dari tiga tahun. Akan tetapi, penelitian baru menunjukkan ganja dapat membantu menangani penyakit itu.
Perjuangan Leigh Raaschou selama puluhan tahun dalam melawan kanker dapat terlihat dengan jelas. Ia tidak pernah melindungi dirinya dari sengatan matahari dan menghabiskan sebagian besar masa hidupnya berada langsung di bawah terik matahari. Melanoma di kepalanya menyebar ke tulang dan memaksa para dokter mengangkat sebagian tengkoraknya.
“Selama periode itu sudah lebih dari 100 kanker kulit yang diangkat dari tubuh saya, mungkin bahkan hampir 200,” jelasnya.
Raaschou empat kali menderita melanoma sejak 1998. Melanomanya yang terakhir diangkat dokter tahun lalu. “Inilah akibatnya karena tidak pernah pakai topi, tidak pernah pakai krim pelindung dari sengatan surya,” imbuhnya.
Terapi radiasi untuk membunuh sel kanker telah merusak indera pendengaran dan penglihatan Raaschou. Dokter mengatakan, ia tidak lagi bisa menjalani terapi tersebut.
“Di sebelah situlah melanoma saya mereka angkat. Radiasi sudah dilakukan terhadap seluruh area kepala saya. Dan dokter sudah bilang tidak bisa dilakukan radiasi lagi. Istri saya selalu khawatir melanoma saya akan kembali muncul dan semacamnya, tapi saya punya filosofi berbeda,” lanjut Raaschou.
Umumnya, melanoma diobati melalui prosedur medis invasif seperti pembedahan atau terapi radiasi. Namun, para peneliti di Charles Darwin University dan Royal Melbourne Institute of Technology kini sedang meneliti apakah zat dalam ganja suatu hari nanti dapat menjadi solusi. Penelitian itu masih dalam tahap awal, tapi mereka menemukan bahwa ketika mereka menempatkan ekstrak khusus tanaman ganja bernama PHEC-66 ke dalam sebuah tabung reaksi, ekstrak tersebut menempel pada reseptor di permukaan sel kanker dan mengganggu pertumbuhan sel tersebut.
Nazim Nassar, peneliti Charles Darwin University, ikut menulis laporan penelitian yang sudah diterbitkan pada jurnal Cells. “Yang kita bicarakan adalah melanoma ganas, yang merupakan tipe kanker kulit yang mematikan,” jelasnya.
Ia dan peneliti lainnya berharap dapat segera memulai uji coba pada hewan.
Uji coba itu bisa memakan waktu bertahun-tahun dan hasilnya harus berhasil sebelum dapat diujicobakan pada manusia. Namun, Nassar berbesar hati melihat hasil penelitian mereka sejauh ini.
“Caranya dengan memaksa sel itu menjalani apa yang kami sebut kematian sel yang terprogram, alias apoptosis. Dan itu, bagi kami yang melakukan penelitian awal di dalam laboratorium, merupakan hasil yang luar biasa,” sebut Nazim.
Bagi orang-orang yang menderita kanker seperti Raaschou, alternatif selain prosedur operasi sangatlah mereka nantikan. “Seandainya saja saya tahu soal ini 10 tahun lalu, maka tidak ada bagian tubuh saya yang harus diangkat,” jelasnya. [rd/lt]
Forum