Penembakan massal di Colorado minggu lalu telah memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran baru mengenai hubungan yang mungkin timbul antara film dan kekerasan.
Jauh sebelum tersangka pelaku penembakan James Holmes melepaskan tembakan di sebuah bioskop di Colorado yang padat, sudah ada debat mengenai apakah kekerasan dalam film telah mendorong aksi-aksi kekerasan.
Dr. Jay Reeve, presiden sebuah fasilitas kesehatan mental di Florida, mengatakan bahwa tidak seharusnya film-film disalahkan. Reeve, yang meneliti akibat film terhadap perilaku, mengatakan bahwa orang-orang yang terekspos atau rentan kekerasan akan tertarik pada film-film berisi kekerasan.
“Orang-orang datang ke bioskop dengan kerapuhan dan pikiran tertentu, dan film menjadi kendaraan lain untuk mereka untuk mengekspresikan sesuatu yang menurut saya memang akan diekspresikan juga,” ujarnya.
Para penyelidik mengatakan bahwa seorang remaja yang dihukum karena penembakan di daerah Washington dan menewaskan 10 orang pada 2002 sangat menggemari film fiksi ilmiah The Matrix.
John Hinckley, pria yang dihukum pada 1981 karena mencoba membunuh mantan presiden Ronald Reagan, ternyata mengikuti plot film Taxi Driver. Dan setelah penembakan massal pada 2009 di SMA Columbine di Colorado, para penyelidik mengatakan bahwa salah satu dari dua remaja yang melakukan penembakan tersebut memiliki jurnal yang menyebut film Natural Born Killers. Selain itu, keluarga para korban mempertanyakan apakah para penembak itu terpengaruh oleh The Basketball Diaries, sebuah film yang penuh dengan adegan kekerasan brutal.
Profesor psikologi dari University of Michigan, Rowell Huesmann, mengatakan orang dapat terpengaruh oleh film. “Film-film berisi kekerasan dapat meningkatkan risiko seseorang melakukan tindak kekerasan,” jelasnya.
Namun, ia menambahkan, ada banyak faktor seperti kesehatan mental dan agresi di rumah, yang harus diberi perhatian. “Ya, memang film-film, acara televisi dan permainan video yang penuh kekerasan dapat meningkatkan risiko tindakan kekerasan, namun tidak benar jika hanya itu yang menyebabkan tindakan tersebut. Biasanya ada kombinasi dengan faktor psikologis lain dari orang tersebut,” ujarnya.
Profesor kriminologi James Fox dari Northeastern University di Boston mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak memiliki masalah memisahkan fantasi dari realita. “Ada jutaan orang yang tertarik, gemar dan terkadang terobsesi dengan hiburan kekerasan dan tentunya mereka tidak menjadi pelaku kekerasan,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa untuk beberapa criminal, hiburan penuh kekerasan adalah refleksi kepribadian mereka, namun bukan sebab tindakan mereka. (VOA/Pamela Dockins)
Jauh sebelum tersangka pelaku penembakan James Holmes melepaskan tembakan di sebuah bioskop di Colorado yang padat, sudah ada debat mengenai apakah kekerasan dalam film telah mendorong aksi-aksi kekerasan.
Dr. Jay Reeve, presiden sebuah fasilitas kesehatan mental di Florida, mengatakan bahwa tidak seharusnya film-film disalahkan. Reeve, yang meneliti akibat film terhadap perilaku, mengatakan bahwa orang-orang yang terekspos atau rentan kekerasan akan tertarik pada film-film berisi kekerasan.
“Orang-orang datang ke bioskop dengan kerapuhan dan pikiran tertentu, dan film menjadi kendaraan lain untuk mereka untuk mengekspresikan sesuatu yang menurut saya memang akan diekspresikan juga,” ujarnya.
Para penyelidik mengatakan bahwa seorang remaja yang dihukum karena penembakan di daerah Washington dan menewaskan 10 orang pada 2002 sangat menggemari film fiksi ilmiah The Matrix.
John Hinckley, pria yang dihukum pada 1981 karena mencoba membunuh mantan presiden Ronald Reagan, ternyata mengikuti plot film Taxi Driver. Dan setelah penembakan massal pada 2009 di SMA Columbine di Colorado, para penyelidik mengatakan bahwa salah satu dari dua remaja yang melakukan penembakan tersebut memiliki jurnal yang menyebut film Natural Born Killers. Selain itu, keluarga para korban mempertanyakan apakah para penembak itu terpengaruh oleh The Basketball Diaries, sebuah film yang penuh dengan adegan kekerasan brutal.
Profesor psikologi dari University of Michigan, Rowell Huesmann, mengatakan orang dapat terpengaruh oleh film. “Film-film berisi kekerasan dapat meningkatkan risiko seseorang melakukan tindak kekerasan,” jelasnya.
Namun, ia menambahkan, ada banyak faktor seperti kesehatan mental dan agresi di rumah, yang harus diberi perhatian. “Ya, memang film-film, acara televisi dan permainan video yang penuh kekerasan dapat meningkatkan risiko tindakan kekerasan, namun tidak benar jika hanya itu yang menyebabkan tindakan tersebut. Biasanya ada kombinasi dengan faktor psikologis lain dari orang tersebut,” ujarnya.
Profesor kriminologi James Fox dari Northeastern University di Boston mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak memiliki masalah memisahkan fantasi dari realita. “Ada jutaan orang yang tertarik, gemar dan terkadang terobsesi dengan hiburan kekerasan dan tentunya mereka tidak menjadi pelaku kekerasan,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa untuk beberapa criminal, hiburan penuh kekerasan adalah refleksi kepribadian mereka, namun bukan sebab tindakan mereka. (VOA/Pamela Dockins)