Dalam sidang kasus dugaan penistaan agama yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (27/12), Majelis Hakim yang dipimpin Dwiarso Budi Siantiarto menolak nota keberatan yang disampaikan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan tim kuasa hukumnya.
Sebelum membacakan putusan sela, anggota majelis hakim membacakan pertimbangan mereka dengan memperhatikan pendapat jaksa penuntut umum dan nota keberatan yang disampaikan Ahok serta tim pengacaranya dalam sidang pekan sebelumnya.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai terdakwa mestinya tidak memasukkan pokok perkara dalam eksepsinya terkait pernyataan tidak berniat menodai agama. Soal surat dakwaan jaksa penuntut hukum yang dinilai tidak cermat, majelis hakim menyatakan surat dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum sudah disusun lengkap sehingga poin keberatan yang disampaikan penasihat hukum tersebut tidak dapat diterima.
Mengenai adanya tekanan massa untuk mengadili Ahok, majelis hakim mengatakan proses pengadilan Ahok digelar karena sudah ada pelimpahan berkas perkara dari penyidik kepolisian ke kejaksaan lalu ke pengadilan. Berkas perkara sudah dianggap lengkap sehingga sidang sudah dapat digelar, bukan karena ada desakan massa.
Majelis Hakim juga menilai keberatan Ahok bahwa dirinya tidak ada niat menista agama Islam yang terbukti dengan memberangkatkan haji para pengurus masjid dan membangun masjid bukanlah keberatan yang dimaksud dalam klasifikasi keberatan.Tentang delik materiil di mana harus ada akibat hukum, majelis hakim menjelaskan pasal penodaan agama dengan pidana maksimum lima tahun penjara masuk delik formil sehingga tidak perlu ada akibat hukum dari perbuatan pidana.
"Pengadilan berpendapat bahwa pengadilan menyidangkan suatu perkara bukan atas desakan massa atau publik tetapi berdasarkan pada pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum yang dimohonkan untuk disidangkan dan diadili," kata salah seorang anggota Majelis Hakim, Abdul Rosyad.
"Dalil keberatan penasehat hukum yang menyatakan penuntut umum telah mengabaikan atau mengesampingkan dari mekanisme peringatan keras sebagaimana diatur UU NO.1 PNPS tahun 1965 tentang pencegahan atau penodaan agama tidak benar," lanjutnya.
Setelah membacakan putusan selanya, Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto menyatakan sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Ahok dilanjutkan minggu depan, dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. Sidang selanjutnya akan dilangsungkan di auditorium Kementerian Pertanian di Jakarta Selatan.
Ketua tim jaksa penuntut umum Ali Mukartono menerima putusan sela tersebut dan akan membicarakan soal agenda pemeriksaan saksi dengan pihak panitera.
Humphrey Djemat, anggota tim penasihat hukum Ahok, mengaku kecewa atas putusan sela yang dikeluarkan majelis hakim dengan alasan kliennya tersebut belum mendapatkan keadilan. Meski begitu, dia mengatakan tim kuasa hukum Ahok menghormati putusan sela itu.
"Yang juga sangat kita sayangkan dalam pertimbangan menolak perlunya peringatan keras diberikan dulu kepada Pak Ahok dalam kaitan Undang-undang nomor 1 tahun 1965 katanya tidak diperlukan karena cukup dengan pasal 4 saja. Sudah dua kali pasal 156 a ini diajukan ke Mahakamah Konstitusi," papar Humphrey Djemat.
"Kalau kita lihat dari putusan Mahkamah Konstitusi nomor 84 tahun 2012 dinyatakan berkaitan dengan pasal 156a itu memang diperlukan peringatan lebih dahulu sebelum diterapkan pidana. Kalau sebenarnya majelis hakim bisa meneliti putusan Mahkamah Konstitusi, tentu ahrus diterapkan dulu peringatan keras ini," lanjutnya.
Sidang kali ini merupakan sidang ketiga. Kasus dugaan penistaan agama ini bermula saat Ahok berpidato di depan warga di Kepulauan Seribu akhir September lalu karena dia menyitir surat Al-Maidah ayat 51.
Kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok ini telah memanaskan situasi politik menjelang pemilihan gubernur Jakarta pada Februari 2017. Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. [fw/ uh]