Kain tenun Ulos berperan penting dalam kehidupan masyarakat Batak, sejak bayi di dalam kandungan sampai meninggal dunia. Ulos berasal dari kawasan DanauToba, dan tersebar ke daerah-daerah lain di Sumatera Utara, lalu ke seluruh Indonesia, bahkan kini ke seluruh dunia. Maka keberadaan Ulos sebagai kain warisan budaya perlu mendapat perhatian khusus dan layak diajukan sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO.
Kain tenun ulos yang telah ada sejak 4.000 tahun lalu, awalnya berfungsi untuk menghangatkan tubuh. Ulos merupakan kain yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk upacara adat masyarakat Batak.
Berawal dari Festival Ulos 2019 yang diadakan di Jakarta oleh Batak Center, maka ulos diusulkan untuk diajukan ke UNESCO. Pengusulan itu baru terlaksana Februari lalu, seperti dijelaskan Ketua Panitia Kerja Ulos sebagai Waris an Budaya Dunia, Jhohannes Marbun yang akrab dipanggil Joe Marbun,
“Pengusulan itu kan per dua tahun, kalau nominasi tunggal itu setiap tahun ganjil. Maka sejak tahun 2021 kami dorong, dengan harapan tahun 2023 menjadi pembahasan di UNESCO,” tukasnya.
Persyaratan UNESCO
Namun masalahnya, setiap dua tahun itu UNESCO hanya mensyaratkan setiap negara hanya mengusulkan satu unggulan warisan. Padahal yang terdaftar sebagai warisan budaya tak benda nasional sudah 3.000.
“Nah, kalau satu negara hanya mengusulkan satu warisan budaya per dua tahun, maka itu bisa tercapai 6.000 tahun yang akan datang. Itulah problemnya. Maka ulos sebagai tenun tradisional, digabungkan dengan tenun dari daerah lain yang sudah ditetapkan sebagai kain warisan budaya tak benda nasional. Itu strategi dari pemerintah pusat”, ujar Joe Marbun.
Dikenal di Dunia
Seperti halnya batik, ulos memiliki berbagai corak yang berbeda dan masing-masing memiliki makna dan tujuan penggunaan yang berbeda.
Ulos dibuat untuk pakaian sehari-hari, sebagai salah satu dari tiga sumber kehangatan leluhur Batak, selain matahari dan api.
Kini ulos tidak hanya dikenal di Indonesia, namun di dunia, karena ulos juga menjadi alat diplomasi budaya yang diberikan oleh masyarakat Batak kepada para tamu negara.
“Raja dan Ratu Belanda, Maxima datang ke Danau Toba. Mereka disemati ulos. Ini menjadi tamu kenegaraan yang mendapat kehormatan dari masyarakat Batak. Dalam forum internasional, (mantan) Direktur IMF Christine Lagarde juga mengenakan pakaian bermotif ulos ketika di Bali. Jadi ulos menjadi familiar tidak hanya di kalangan masyarakat Batak, namun juga di masyarakat nasional maupun internasional.”
Menurut data dari Pemda Sumatra Utara, pembuatan ulos terdapat di delapan wilayah di Danau Toba termasuk Tapanuli Utara dan Selatan, dan tercatat 8.441 perajin ulos.
Koleksi Ulos
Tradisi bertenun ulos adalah hal yang sakral dan benar-benar merupakan warisan dari nenek moyang, seperti yang dialami oleh Vilidius Siburian yang neneknya penenun. Ia kini memiliki koleksi ulos yang sudah mencapai enam lemari.
“Untuk orang Batak sendiri, ulos itu sangat dibutuhkan. Mulai dari masih di dalam kandungan sudah diberi ulos, sampai nanti dia di dalam tanah sudah meninggal, dia diberi ulos”, kata Vilidius.
Vilidius yang lahir di Pemantang Siantar ini sudah beberapa kali mengadakan pameran ulos, di Museum Nasional Jakarta dan di Tapanuli. Kepada VOA, ia menyatakan niatnya untuk menulis buku tentang ulos, apalagi kini ulos sedang diajukan ke UNESCO.
“Kan kain itu bisa saja jadi lapuk, rusak, dimakan rengat. Tapi kalau dijadikan buku itu kan kekal ya”.
Sesuai dengan strategi pemerintah RI, maka pengusulan ulos menjadi warisan budaya tak benda ke UNESCO itu, juga disertai dengan kain nusantara lain yang telah ditentukan sebagai warisan budaya tak benda di tingkat nasional, di antaranya tenun ikat Sumba.
Selain ulos dan tenun ikat Sumba, beberapa warisan budaya Indonesia yang sedang diusulkan ke UNESCO untuk menjadi warisan budaya tak benda adalah tempe, reog Ponorogo, budaya sehat jamu, dan kolintang. [ps/em]