WASHINGTON DC —
Menjalani puasa bagi seorang mualaf di Amerika yang mayoritas masyarakatnya non-Muslim bukan hal yang mudah. Banyak tantangan yang dihadapi Muslim baru, mulai dari panjangnya masa berpuasa, hingga keberadaan mereka sebagai minoritas.
Shannon Johnson belum lama menjadi mualaf. Programmer komputer yang bekerja sebagai pegawai negeri di negara bagian New York itu untuk pertama kalinya menjalani puasa pada Ramadan kali ini. Berpuasa pada musim panas, di mana lamanya berpuasa lebih dari 16 jam, tentu saja menjadi tantangan besar bagi mereka yang baru pertama menjalaninya.
Sebelum Ramadan, ia juga khawatir soal berpuasa.
"Ya, saya punya kekhawatiran besar soal puasa, karena saya tidak tahan panas dan juga khawatir karena tidak bisa minum," kata Shannon.
Kekhawatiran lainnya adalah mengenai asupan nutrisi. Tetapi setelah beberapa hari menjalaninya, Shannon mengaku tidak mengalami kesulitan lagi.
"Kenyataannya, tidak sulit. Pada dua atau tiga hari pertama memang agak sulit karena baru menyesuaikan diri. Sekarang saya senang menjalaninya," paparnya.
Ia juga telah dapat menyesuaikan jadwal hidup dan kebiasaan yang berubah. Hal yang ia sayangkan adalah ia tidak bisa berolahraga setiap hari sebagaimana biasanya. Tantangan lainnya adalah menghadapi keluarga dan koleganya yang baru mengetahui bahwa ia sedang berpuasa.
Shannon menambahkan, "Mereka jelas tidak mengerti hal-hal seperti itu, mereka bertanya-tanya mengapa saya melakukan itu, meragukan kemampuan saya berpuasa. Tapi keyakinan saya kuat, sehingga saya tidak khawatir akan apa yang dikatakan atau dipkirkan orang lain."
Dalam hal ini, keluarga dan komunitas Muslim juga berperan membantu agar seorang mualaf dapat lancar menjalankan ibadah puasanya. Istri Shannon, Irma Meitia, misalnya, mengaku memberi contoh dengan menjalankan berbagai ibadah secara konsisten.
Sebagai pengganti sebelum Ramadan, mereka tak jarang berdiskusi mengenai Islam dan Muslim. Mereka juga menyempatkan diri untuk ikut acara iftar, atau berbuka puasa bersama komunitas Muslim Indonesia di kota mereka. Irma dengan bangga mengatakan hingga hari ke-23 Ramadan ini, Shannon tidak seharipun batal berpuasa.
Kisah mualaf lainnya datang dari Los Angeles, negara bagian California, di mana Jason Yau Lie tinggal. Pengacara yang juga memiliki kantor pengacara sendiri ini mengikrarkan syahadat lebih dari 10 tahun silam, tetapi ia mengaku baru benar-benar mendalami dan menjalankan seluruh kewajibannya sebagai Muslim dalam beberapa tahun belakangan. Berpuasa pada musim panas juga masih menjadi tantangan besar baginya.
"Dalam profesi saya itu harus pergi ke pengadilan, harus berbicara dengan pihak pengacara yang lain, kepada hakim, harus argue di pengadilan. Sudah pasti merasa haus sekali. Tapi bagaimanapun juga saya tetap merasa harus menjalankan ibadah puasa karena ini kewajiban," ujar Jason.
Jason berharap sebagaimana tahun lalu, ia dapat menyempurnakan ibadah puasanya kali ini. Selama bulan Ramadan ini, ia juga mendekatkan diri dengan komunitas Muslim di sekitarnya.
Selain mengikuti kegiatan iftar dan tarawih bersama komunitas Indonesia di Konsulat Jenderal Indonesia di Los Angeles, Jason mengaku mendapat lebih banyak pengalaman dengan mengikuti kegiatan serupa di Islamic Center di kota itu, yang para jamaahnya berasal dari berbagai negara.
Shannon Johnson belum lama menjadi mualaf. Programmer komputer yang bekerja sebagai pegawai negeri di negara bagian New York itu untuk pertama kalinya menjalani puasa pada Ramadan kali ini. Berpuasa pada musim panas, di mana lamanya berpuasa lebih dari 16 jam, tentu saja menjadi tantangan besar bagi mereka yang baru pertama menjalaninya.
Sebelum Ramadan, ia juga khawatir soal berpuasa.
"Ya, saya punya kekhawatiran besar soal puasa, karena saya tidak tahan panas dan juga khawatir karena tidak bisa minum," kata Shannon.
Kekhawatiran lainnya adalah mengenai asupan nutrisi. Tetapi setelah beberapa hari menjalaninya, Shannon mengaku tidak mengalami kesulitan lagi.
"Kenyataannya, tidak sulit. Pada dua atau tiga hari pertama memang agak sulit karena baru menyesuaikan diri. Sekarang saya senang menjalaninya," paparnya.
Ia juga telah dapat menyesuaikan jadwal hidup dan kebiasaan yang berubah. Hal yang ia sayangkan adalah ia tidak bisa berolahraga setiap hari sebagaimana biasanya. Tantangan lainnya adalah menghadapi keluarga dan koleganya yang baru mengetahui bahwa ia sedang berpuasa.
Shannon menambahkan, "Mereka jelas tidak mengerti hal-hal seperti itu, mereka bertanya-tanya mengapa saya melakukan itu, meragukan kemampuan saya berpuasa. Tapi keyakinan saya kuat, sehingga saya tidak khawatir akan apa yang dikatakan atau dipkirkan orang lain."
Dalam hal ini, keluarga dan komunitas Muslim juga berperan membantu agar seorang mualaf dapat lancar menjalankan ibadah puasanya. Istri Shannon, Irma Meitia, misalnya, mengaku memberi contoh dengan menjalankan berbagai ibadah secara konsisten.
Sebagai pengganti sebelum Ramadan, mereka tak jarang berdiskusi mengenai Islam dan Muslim. Mereka juga menyempatkan diri untuk ikut acara iftar, atau berbuka puasa bersama komunitas Muslim Indonesia di kota mereka. Irma dengan bangga mengatakan hingga hari ke-23 Ramadan ini, Shannon tidak seharipun batal berpuasa.
Kisah mualaf lainnya datang dari Los Angeles, negara bagian California, di mana Jason Yau Lie tinggal. Pengacara yang juga memiliki kantor pengacara sendiri ini mengikrarkan syahadat lebih dari 10 tahun silam, tetapi ia mengaku baru benar-benar mendalami dan menjalankan seluruh kewajibannya sebagai Muslim dalam beberapa tahun belakangan. Berpuasa pada musim panas juga masih menjadi tantangan besar baginya.
"Dalam profesi saya itu harus pergi ke pengadilan, harus berbicara dengan pihak pengacara yang lain, kepada hakim, harus argue di pengadilan. Sudah pasti merasa haus sekali. Tapi bagaimanapun juga saya tetap merasa harus menjalankan ibadah puasa karena ini kewajiban," ujar Jason.
Jason berharap sebagaimana tahun lalu, ia dapat menyempurnakan ibadah puasanya kali ini. Selama bulan Ramadan ini, ia juga mendekatkan diri dengan komunitas Muslim di sekitarnya.
Selain mengikuti kegiatan iftar dan tarawih bersama komunitas Indonesia di Konsulat Jenderal Indonesia di Los Angeles, Jason mengaku mendapat lebih banyak pengalaman dengan mengikuti kegiatan serupa di Islamic Center di kota itu, yang para jamaahnya berasal dari berbagai negara.