Warga Jakarta baru saja memberikan suaranya untuk memilih pemimpin mereka Rabu lalu (15/2).
Hasil penghitungan sementara Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta dan penghitungan cepat atau quick count beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa pasangan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno akan maju ke putaran kedua, sementara pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang meraih suara paling sedikit harus mundur.
Pengamat politik yang juga asisten profesor ilmu politik dan agama di Universitas Boston, Jeremy Menchik mengatakan kepada VOA, ia sangat kagum melihat pertarungan dalam pemilihan kepala daerah Jakarta ini.
“Saya kira ini pilkada yang sangat dramatis. Kita melihat kekuatan yang sangat berpengaruh dalam masyarakat Jakarta, yang saling bertarung sengit untuk memperebutkan kursi gubernur," ujarnya dalam wawancara lewat telepon.
"Ada keluarga mantan presiden Yudhoyono yang kembali ingin menunjukkan keberadaannya, ada mobilisasi kelompok atau gerakan Islam, dan ada pula kekuatan teknokrat berpengaruh, meski harus diakui mereka sebenarnya tidak berkampanye sebaik kelompok-kelompok lain. Jadi pilkada ini dramatis dan menggembirakan, meski tetap mencemaskan. Salah satu hal yang mengkhawatirkan dalam demokrasi Indonesia ini adalah pengaruh keluarga dan nepotisme, serta besarnya gerakan intoleran."
Ahok dalam Situasi 'Win-Win'
Menchik menilai Ahok, yang pada beberapa quick count meraih suara terbesar, meskipun tidak jauh atau hampir setara dengan Anies Baswedan, sebenarnya berada dalam posisi “win-win”.
“Kita harus mengakui bahwa pencapaian Ahok sangat signifikan. Sebagaimana Anda tahu, menjadi unggulan merupakan pencapaian monumental bagi seseorang yang berlatar belakang agama Kristen, keturunan Cina, dan tidak terlalu bisa bermain politik. Saya kira ini merupakan pencapaian luar biasa bagi Ahok. Dan ini sesuatu yang seharusnya membuat warga Jakarta bangga," katanya.
"Ia berada dalam posisi 'win-win' sekarang. Kalau pun ia tidak menang, saya kira ia telah membuka jalan bagi politisi dari kelompok minoritas lain untuk berhasil pada masa depan. Melihat pencapaiannya sekarang, kita tidak bisa menganggapnya gagal jika kalah dalam pilkada putaran kedua nanti."
Hal senada disampaikan Peter McCawley, pengamat politik di Australian National University.
“Kabar baiknya adalah calon gubernur yang berasal dari kelompok minoritas, yang beragama Kristen dan berlatar belakang sebagai warga keturunan Cina, meraih suara yang baik, bahkan luar biasa baik jika kita melihat betapa besarnya serangan terhadap dirinya," ujarnya.
"Meskipun demikian situasinya sekarang campur baur. Dalam kasus Ahok, hukum dan agama bercampur dan saling adu kuat. Ini ibukota Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Jadi sangat mengejutkan melihat begitu besarnya dukungan pada Ahok yang berlatar belakang keturunan Cina dan Kristen. Ini sangat mengagumkan," kata McCawley.
Menchik menilai pihak berwenang seharusnya sudah menghentikan sejak awal kasus Ahok yang sarat nuansa politik dan jelas merugikannya.
“Saya kira kasus pengadilan Ahok seharusnya disudahi. Itu jelas merupakan teater politik dan propaganda. Sangat sulit mengadili kasus yang sudah menjadi teater politik. Saya semula berharap polisi membatalkan kasus itu sejak awal sehingga tidak dibawa ke sidang pengadilan. Ini seharusnya dilakukan lebih cepat dahulu. Tapi sekarang satu-satunya jalan adalah membiarkan institusi demokrasi yang bekerja," ujar Menchik.
Permainan Berbahaya
McCawley menilai Anies Baswedan berpotensi besar memenangkan pilkada putaran kedua.
“Kandidat yang mungkin akan menang – Anies Baswedan – adalah tokoh moderat dengan reputasi baik. Ia pernah menjadi Mendikbud dan dinilai sebagai sosok yang menjanjikan," ujar McCawley.
Tapi ia juga mengingatkan bahwa warga Jakarta tidak saja akan memilih tokoh yang memiliki pemikiran moderat dan toleran, tetapi juga yang bisa bekerja.
“Mereka (warga Jakarta) lebih memilih tokoh yang bisa menunjukkan hasil kerja pemerintah yang baik. Ahok adalah tipe pemimpin yang tidak segan-segang menyingsingkan lengan baju dan memastikan pekerjaannya selesai. Hal ini bisa membuatnya memiliki banyak musuh dan juga dukungan karena dia tidak segan-segan melakukan apa saja untuk menyelesaikan pekerjaan yang direncanakannya," tambah Indonesianis dari Australian National University itu.
Meskipun demikian, Menchik menilai Anies Baswedan sedang melakukan permainan berbahaya.
“Anies Baswedan sedang melakukan permainan berbahaya dalam jangka panjang karena kelompok yang berada di belakangnya memiliki kecenderungan untuk memberi dukungan pada siapa pun yang mendukung mereka. Ini tidak akan berlaku jika Anies Baswedan kelak mengkritisi FPI (Front Pembela Islam) dan kekuatan intoleran," katanya.
"Agama mungkin efektif untuk jangka pendek, tapi tidak untuk jangka panjang, dan saya kira Anies tahu itu. Kalau pun ia menang, saya tidak tahu apakah ia bisa mengendalikan FPI. Saya sungguh tidak tahu. Tapi apakah ada yang bisa mengendalikan FPI? Hmm.. Yang pasti apa yang dilakukan Anies sekarang ini mungkin lebih merugikan dibanding memberi manfaat bagi reputasinya."
Meski demikian, kedua Indonesianis itu menilai demokrasi di Indonesia masih sehat dan menantang.
“Saya menyayangkan munculnya kelompok intoleran dan terkejut melihat keberadaan mereka. Tapi saya juga kaget melihat kemunculan kelompok-kelompok yang berani menentang mereka," ujar Menchik.
Ditambahkannya, dibandingkan negara-negara demokrasi lainnya, Indonesia sudah jauh lebih maju, terlebih mengingat hampir tidak ada aksi kekerasan akibat pemilu.
“Banyak pihak khawatir dengan hasil pilkada Jakarta ini, tetapi saya pikir kita sebaiknya percaya dengan warga Jakarta dan kemampuan mereka membuat keputusan terbaik demi kepentingan mereka."