Pertemuan para menteri luar negeri negara-negara berkembang dan industri maju yang tergabung dalam G20 (Group 20) di New Delhi, gagal mencapai konsensus tentang perang Rusia di Ukraina.
Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar, selaku tuan rumah pertemuan para diplomat tinggi itu, pada Kamis (2/3) mengatakan perbedaan pandangan yang tajam mengakibatkan tidak tercapainya kesepakatan.
India minggu lalu juga terpaksa mengeluarkan rangkuman pernyataan yang dikompromikan pada akhir pertemuan menteri keuangan negara-negara G20 setelah Rusia dan China menyampaikan keberatan dengan komunike bersama yang mempertahankan kalimat tentang perang di Ukraina, yang dikutip langsung dari hasil KTT G20 di Bali, Indonesia, pada 2022.
Dalam pertemuan para menteri luar negeri pekan ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan pentingnya semangat kerjasama dan penghormatan pada multilateralisme di tengah situasi dunia yang suram. Situasi itu akan terus memburuk jika perang di Ukraina berlanjut, tambahnya.
Dilema Barat Hadapi Rusia
Diwawancarai VOA hari Jumat (3/3), pengamat hubungan internasional di Universitas Diponegoro, Semarang, Mohammad Rosyidin mengatakan perang Rusia di Ukraina ini sulit dihentikan karena yang berperang adalah Rusia, yang merupakan negara adidaya yang memiliki kekuatan nuklir, sehingga negara-negara Barat menghadapi dilema sendiri.
"Ketika mereka ingin intervensi secara langsung, tentu akan memikirkan reaksi dari Rusia yang punya (senjata) nuklir. Karena berulang kali Rusia juga pernah mengancam akan menggunakan senjata nuklir ketika mereka terdesak," kata Rosyidin.
Sejauh ini yang dapat dilakukan pihak Barat adalah menjatuhkan sanksi yang semakin keras dan membantu memasok senjata bagi Ukraina. Opsi lain yang berpeluang menyudahi perang yang berdampak luas ini adalah dengan menggulingkan Presiden Rusia Vladimir Putin dari kekuasaannya. Skenario itu, ujarnya, sempat muncul di awal-awal perang Rusia di Ukraina ini, tetapi tidak terwujud karena posisi Putin yang sangat kuat, keras, dan sentralistis.
Upaya dialog yang diupayakan sejumlah negara, termasuk Indonesia dan Turki, juga tidak kunjung membuahkan hasil.
G20 Terpecah?
Oleh karena itu tidak heran, ujar Rosyidin, ketika Barat masih ingin menjadikan G20 sebagai alat politik untuk mendesak kepentingannya, yakni mendukung Ukraina dan mengecam Rusia. Dampaknya, G20 kini terbelah menjadi tiga kubu: pro-Barat, anti-Barat, dan netral.
Dalam isu ini India menjadi pihak yang netral karena garis politik luar negerinya dan kepentingan menjaga ketersediaan pasokan gas dari Rusia. Tak heran jika pertemuan para menteri luar negeri – dan para menteri keuangan sebelumnya – tidak berhasil mencapai konsensus mengenai konflik Rusia-Ukraina.
Indonesia, tegasnya, juga bersikap netral dan aktif menyuarakan perdamaian. Tetapi Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk mengubah kebijakan kedua negara yang sedang berperang.
Beralih Fokus, Utamakan Kepentingan Nasional
Diwawancarai secara terpisah, pengamat hubungan internasional di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nanto Sriyanto, mengatakan jika perang Rusia di Ukraina terus berlanjut, maka resesi global dikhawatirkan menjadi keniscayaan. India dan negara-negara berkembang lainnya telah menyadari hal itu sehingga kini memfokuskan pada penanggulangan dampak perang.
"Sebenarnya ini juga kritik terhadap negara-negara Barat, karena soal membuat konsensus untuk mengecam itu bukan menjadi forum utama di G20. Yang jadi persoalan di G20 adalah dampak ekonomi dan solusi-solusi yang dapat dilaksanakan yang kemudian menjadi tantangan bersama," ujar Nanto.
Proposal perdamaian China yang berisi 12 butir rencana “resolusi politik bagi krisis Ukraina” merupakan langkah terbaru untuk menyudahi perang tersebut. Berbicara dalam konferensi pers memperingati satu tahun invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, menyampaikan proposal tersebut.
“Dokumen ini berisi 12 poin, termasuk di antaranya menghormati kedaulatan semua negara, meninggalkan mentalitas Perang Dingin, melakukan gencatan senjata, memulai perundingan damai, melindungi keamanan fasilitas-fasilitas nuklir, mengurangi risiko strategi, memastikan distribusi pangan, menghentikan sanksi unilateral, menjamin stabilitas industri dan rantai pasokan, serta mempromosikan rekonstruksi pasca perang. Yang melandasi proposal ini adalah kesediaan China bekerjasama dengan komunitas internasional untuk memberikan kontribusi pada resolusi politik atas krisis di Ukraina ini,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, dalam konferensi pers di sela-sela lawatannya ke Kazakhstan Selasa lalu (28/2), Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengingatkan China tidak dapat terus menerus “menyalakan api yang telah dimulai Rusia,” sambil merilis proposal perdamaian untuk konflik di Ukraina, yang justru dimulai oleh Rusia. [fw/em]
Forum