JAKARTA —
Berbagai kasus yang melibatkan beberapa perusahaan asing di Indonesia termasuk berasal dari Amerika seperti Freeport, Newmont dan terakhir Chevron menurut pengamat ekonomi dan politik dari Aspirasi Indonesia Research Institute, Yanuar Rizky seharusnya merupakan kasus-kasus terakhir dan tidak terulang lagi.
Menurut Yanuar Rizky, selama pemerintah Indonesia tidak memiliki keinginan untuk mengendalikan setiap perusahaan asing yang ada di Indonesia, berbagai persoalan seperti pembagian keuntungan, keterlibatan tenaga kerja lokal dan dampak terhadap lingkungan akibat aktifitas perusahaan, akan terus terjadi.
“Yang tidak pernah dilakukan adalah melakukan kampanye budaya investasi lokal. Coba perhatikan dalam kontrak karya itu dialihkan ke lokal, asing boleh saja misalnya ya boleh beli selembar, dua lembar silahkan tetapi bukan pengendalian. Pengendaliannya BUMN," kata Yanuar. "BUMN nggak punya duit? Ya keluarin obligasi-obligasi saja. (Pemerintah) untuk injeksi modal duitnya dari mana? Pemerintah ciptain utang di APBN. Nanti kan dari hasil uang utang ini suntik ke perusahaan, pemerintah kemudian dapat deviden, kan match match saja,” lanjutnya.
Yanuar Rizky berpendapat, yang harus diterapkan pemerintah dan masyarakat Indonesia adalah mencegah pengendalian perusahaan oleh asing dan bukan mencegah masuknya investasi asing di Indonesia.
“Sekarang dana asing nih ya, asingnya kamu beli SUN saya aja deh. Tapi dia kan tidak mengendalikan perusahaan minyak kita. Karena dari asing beli SUN ke pemerintah, uang dari asing ini dijadikan modal atas nama pemerintah. Nanti perusahaan ini menghasilkan, ya saya pakai bayar untuk bayar utang saya. Jadi yang kita cegah itu adalah pengendalian asing, bukan kita anti uang asing,” demikian penuturan Yanuar Rizky.
Sementara itu, terkait kasus hukum yang sedang terjadi di perusahaan minyak dan gas, Chevron, Wakil Direktur bidang Kebijakan Pemerintah dan Kemasyarakatan PT. Chevron Pasifik Indonesia, atau CPI, Yanto Sianipar mengatakan pihaknya belum berhasil meminta Kejaksaan Agung mengeluarkan tujuh orang tersangka dari pihak Chevron yang sejak akhir September lalu ditahan.
"Teman-teman para tahanan itu sudah masuk pra-peradilan. Kita menunggu hearingnya kapan. Biasanya (setelah) surat masuk, ada waktu tertentu untuk mempersiapkan pengadilannya untuk praperadilan. Kita tunggu saja mudah-mudahan minggu depan ini kita dengar surat panggilannya,” kata Yanto Sianipar.
Sebelumnya Kejaksaan Agung menahan tujuh tersangka terkait dugaan penyalahgunaan anggaran Bioremediasi atau pemulihan lingkungan yang terkena limbah eksplorasi migas yang dilakukan Chevron di Riau.
Dari dugaan tersebut negara mengalami kerugian sekitar 23,37 juta dollar Amerika karena dalam perjanjian anggaran pemulihan tanah dilakukan atas kerjasama Chevron dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup.
Namun pihak Chevron tetap berpendirian tidak bersalah karena pemulihan tanah dilakukan sesuai prosedur yang sudah disepakati dan tanah sudah tidak tercemar.
Kasus yang melibatkan pemerintah dan Chevron tersebut menurut Yanuar Rizky akibat lemahnya sistem yang diberlakukan di Indonesia serta ketidakpastian hukum. Jika tidak cepat diubah menurutnya kondisi sepeti itu dapat dimanfaatkan oleh asing yaitu iklim investasi di Indonesia diremehkan dengan cara mempermainkan aturan yang berlaku .
Selain itu dampak negatif yang mungkin terjadi adalah investor tidak berminat berinvestasi di Indonesia karena khawatir nantinya akan menimbulkan persoalan besar dan semua itu akan merugikan Indonesia.
Menurut Yanuar Rizky, selama pemerintah Indonesia tidak memiliki keinginan untuk mengendalikan setiap perusahaan asing yang ada di Indonesia, berbagai persoalan seperti pembagian keuntungan, keterlibatan tenaga kerja lokal dan dampak terhadap lingkungan akibat aktifitas perusahaan, akan terus terjadi.
“Yang tidak pernah dilakukan adalah melakukan kampanye budaya investasi lokal. Coba perhatikan dalam kontrak karya itu dialihkan ke lokal, asing boleh saja misalnya ya boleh beli selembar, dua lembar silahkan tetapi bukan pengendalian. Pengendaliannya BUMN," kata Yanuar. "BUMN nggak punya duit? Ya keluarin obligasi-obligasi saja. (Pemerintah) untuk injeksi modal duitnya dari mana? Pemerintah ciptain utang di APBN. Nanti kan dari hasil uang utang ini suntik ke perusahaan, pemerintah kemudian dapat deviden, kan match match saja,” lanjutnya.
Yanuar Rizky berpendapat, yang harus diterapkan pemerintah dan masyarakat Indonesia adalah mencegah pengendalian perusahaan oleh asing dan bukan mencegah masuknya investasi asing di Indonesia.
“Sekarang dana asing nih ya, asingnya kamu beli SUN saya aja deh. Tapi dia kan tidak mengendalikan perusahaan minyak kita. Karena dari asing beli SUN ke pemerintah, uang dari asing ini dijadikan modal atas nama pemerintah. Nanti perusahaan ini menghasilkan, ya saya pakai bayar untuk bayar utang saya. Jadi yang kita cegah itu adalah pengendalian asing, bukan kita anti uang asing,” demikian penuturan Yanuar Rizky.
Sementara itu, terkait kasus hukum yang sedang terjadi di perusahaan minyak dan gas, Chevron, Wakil Direktur bidang Kebijakan Pemerintah dan Kemasyarakatan PT. Chevron Pasifik Indonesia, atau CPI, Yanto Sianipar mengatakan pihaknya belum berhasil meminta Kejaksaan Agung mengeluarkan tujuh orang tersangka dari pihak Chevron yang sejak akhir September lalu ditahan.
"Teman-teman para tahanan itu sudah masuk pra-peradilan. Kita menunggu hearingnya kapan. Biasanya (setelah) surat masuk, ada waktu tertentu untuk mempersiapkan pengadilannya untuk praperadilan. Kita tunggu saja mudah-mudahan minggu depan ini kita dengar surat panggilannya,” kata Yanto Sianipar.
Sebelumnya Kejaksaan Agung menahan tujuh tersangka terkait dugaan penyalahgunaan anggaran Bioremediasi atau pemulihan lingkungan yang terkena limbah eksplorasi migas yang dilakukan Chevron di Riau.
Dari dugaan tersebut negara mengalami kerugian sekitar 23,37 juta dollar Amerika karena dalam perjanjian anggaran pemulihan tanah dilakukan atas kerjasama Chevron dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup.
Namun pihak Chevron tetap berpendirian tidak bersalah karena pemulihan tanah dilakukan sesuai prosedur yang sudah disepakati dan tanah sudah tidak tercemar.
Kasus yang melibatkan pemerintah dan Chevron tersebut menurut Yanuar Rizky akibat lemahnya sistem yang diberlakukan di Indonesia serta ketidakpastian hukum. Jika tidak cepat diubah menurutnya kondisi sepeti itu dapat dimanfaatkan oleh asing yaitu iklim investasi di Indonesia diremehkan dengan cara mempermainkan aturan yang berlaku .
Selain itu dampak negatif yang mungkin terjadi adalah investor tidak berminat berinvestasi di Indonesia karena khawatir nantinya akan menimbulkan persoalan besar dan semua itu akan merugikan Indonesia.