Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD memastikan pemerintah akan memulangkan anak-anak mantan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang saat ini berada di kamp-kamp pengungsian. Anak-anak mantan anggota ISIS yang dipulangkan adalah anak yatim piatu yang berusia di bawah 10 tahun.
Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones menilai keputusan pemerintah yang ingin memulangkan anak-anak mantan anggota ISIS merupakan hal yang baik, karena menurutnya akan berbahaya sekali jika anak-anak di bawah umur dibiarkan tinggal di kamp-kamp di mana radikalisasi akan terus bertambah. Terlebih jika mempertimbangkan alasan kemanusiaan.
Lebih lanjut Sidney menjelaskan sekarang ini di kamp-kamp tersebut ada polisi perempuan dari ISIS yang menguasai kamp. Walaupun secara resmi kamp-kamp ini dikuasai oleh pasukan Kurdi tetapi semakin berkurangnya jumlah pasukan mereka membuat patroli, pemantauan dan pengawasan di kamp-kamp itu tidak dapat dilakukan secara maksimal.
“Polisi perempuan muncul lagi di kamp tersebut. Ia melihat siapa saja yang bilang mau pulang, sebagai ancaman atau berkhianat. Siapa saja yang tidak taat pada peraturan-peraturan ISIS bisa dipukuli. Jadi kasian sekali warga negara Indonesia yang harus menghadapi ini. Sampai akhirnya mereka akan dibesarkan dalam suasana yang penuh ancaman dan juga penuh indoktrinasi,” ungkap Sidney.
Sidney menambahkan anak-anak usia di bawah 10 tahun selalu bisa dirubah pikirannya melalui konseling, psikolog dan juga lewat kebaikan dari orang lain.
Namun Sidney buru-buru mengingatkan agar pemerintah tidak saja hanya memulangkan mereka, tanpa mempertimbangkan siapa yang akan menerima mereka. Ia merujuk pada fenomena pasca peledakan serangkaian bom di Surabaya, di mana anak-anak yang orang tuanya menjadi pelaku serangan itu dikucilkan oleh masyarakat. Menurutnya sikap masyarakat dapat berubah jika pemerintah berhasil menyampaikan argumentasi yang bagus dan memberikan semacam kampanye informasi publik.
Menurut Sidney, pemulangan anak-anak mantan anggota ISIS dapat dimulai dengan mereka yang yatim piatu, namun pemerintah tidak boleh menutup kemungkinan penambahan anak-anak usia 10-15 tahun, atau bahkan perempuan dewasa.
Pemerintah Didorong Siapkan Program Deradikalisasi Khusus Anak
Sementara pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Syauqillah menilai pemerintah harus terlebih dahulu mengukur tingkat radikalisme anak-anak mantan anggota ISIS tersebut. Pemerintah, tambahnya, juga harus menyiapkan mekanisme deradikalisasi untuk anak-anak, jangan hanya memulangkan mereka lalu menyerahkan pada keluarga atau kerabat mereka,
“Misalnya si anak dengan identitas siapa, di mana, latar belakangnya dari mana, tingga di mana, kalau kemudian ditelusuri dari profiling itu bahwa anak-anak ini memiliki afiliasi dengan kelompok yang akan membuat ideologinya kuat, makin menguat maka pemerintah bisa saja dengan argumentasi itu dengan melakukan mitigasi.
Menkopolhukam: Pemerintah Mulai Identifikasi dan Pendataan
Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan saat ini pemerintah sudah mulai melakukan proses identifikasi dan pendataan anak-anak mantan anggota ISIS itu. Menurutnya memang hanya yang di bawah 10 tahun yang akan dipulangkan dengan asumsi seumpamanya sudah terpengaruh namun bisa diperbaiki karena masih kecil.
Setiap perkembangan, kata Mahfud, memang tidak bisa dibuka seluruhnya ke publik. Mahfud khawatir akan banyak pihak yang nantinya justru mendatangi anak-anak itu saat mereka telah berhasil kembali ke Indonesia.
“Diputuskan anak-anak di bawah 10 tahun. Sekarang sudah mulai diidentifikasi. Perkembangan itu harus ditutup ke publik, nanti anak-anak kecil didatangi nanti malah stress dia,” ungkap Mahfud MD.
Pemerintah lanjut Mahfud kemungkinan telah menyediakan perumahan khusus bagi anak-anak WNI mantan ISIS ini, namun dia tidak menjelaskan lebih lanjut tentang hal tersebut. [fw/em]