Khairul Ghazali, bekas napiter yang pernah ditangkap Densus 88 Antiteror karena terlibat dalam perampokan Bank CIMB Niaga di Kota Medan pada 2010, mengkritik keputusan pemerintah yang menolak memulangkan lebih dari 600 WNI eks kombatan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) dan keluarga mereka.
Menurutnya, keputusan tersebut mencerminkan ketakutan dan kepanikan pemerintah dalam menghadapi segelintir WNI eks ISIS yang belum tentu semuanya teroris lintas batas. Faktanya sebagian besar mereka adalah perempuan dan anak-anak serta simpatisan
"Penolakan itu prematur sekali karena pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) seperti mendapat bisikan yang tidak akurat. Mereka (pemerintah) menolak kepulangan itu gara-gara menenggang 260 juta rakyat Indonesia dengan mengorbankan 600 WNI yang sebagian terdiri dari perempuan dan anak-anak yang sebenarnya merupakan korban bukan pelaku," kata Ghazali kepada VOA, Rabu (12/2).
Masih kata Ghazali, pemerintah lebih takut dengan 600 WNI eks ISIS sehingga mengabaikan tanggung jawabnya dalam melindungi rakyatnya sendiri. Padahal ada lembaga yang bisa menghukum rakyatnya jika melakukan pelanggaran dan memiliki undang-undang terorisme.
"Pemerintah punya instrumen ada TNI, Polri, Densus 88, Badan Nasional dan Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang merupakan garda terdepan pemberantasan terorisme. Kalau itu terjadi kan ada undang-undang terorisme, tangkap, adili, penjarakan, bukan menolak kehadiran mereka di Tanah Airnya sendiri," ujar Ghazali yang juga pernah terlibat kasus penyerangan terhadap Polsek Hamparan Perak pada 2010.
Dia juga menuding keputusan pemerintah itu memamerkan arogansi segelintir penguasa yang tidak percaya dengan lembaga negara penanggulangan terorisme. Padahal, lembaga tersebut berhasil merangkul sekitar 200 napiter yang sebagian besar adalah bekas pemimpin-pemimpin teroris di jaringannya masing-masing.
"Kalau mereka khawatir karena ketokohan Abu Jandal dan Bahrum Naim di Suriah, itu mereka masih kecil dibanding dengan Umar Patek, Ali Imron, Abu Tholut, dan Ali Fauzi. Nah, mereka ini kembali kok ke NKRI meski,mereka teroris lintas negara juga,” tutur Ghazali.
Menurut Ghazali, mereka masih bisa dideradikalisasi, tetapi tergantung pendekatan.
“Pemerintah belum melakukan konsolidasi, padahal mereka (WNI eks ISIS) bisa diedukasi, dideradikalisasi bisa diubah pemikirannya. Belum ada ruang dialog kok pemerintah lantas mengklaim mereka itu merupakan virus," ujarnya.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengapresiasi keputusan pemerintah yang menolak pemulangan WNI eks ISIS tersebut. Kata Hikmahanto, pemerintah telah mengambil keputusan tepat? untuk melindungi rakyat yang lebih banyak daripada 600 orang. Pemerintah juga telah berhasil meredam kekhawatiran banyak orang di Indonesia terkait munculnya wacana memulangkan WNI eks ISIS tersebut.
"Memang tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk memulangkan eks ISIS asal Indonesia karena mereka bukanlah warga negara Indonesia. Terlebih lagi mereka sudah melakukan kejahatan di luar batas kemanusian. Ini berbeda bila pemerintah mendapat desakan dari PBB, Suriah atau Irak untuk menangani eks warga mereka yang tergabung dalam ISIS," tulis Hikmahanto dalam keterangan resminya.
Sedangkan beberapa warga di Medan, Sumatera Utara juga turut mengomentari keputusan pemerintah yang menolak memulangkan WNI eks ISIS tersebut. Ada yang setuju dan tidak terkait keputusan itu.
Salah satunya, Dimas Wahyu, yang sepakat dengan keputusan pemerintah menolak memulangkan 600 WNI eks ISIS itu.
"Mereka tidak mendapatkan ekspektasi di sana. Setelah itu meminta pemerintah Indonesia untuk memulangkan mereka, menurut aku itu tidak fair," ujarnya kepada VOA.
Sementara warga di Medan lainnya, Pak Baho mengatakan tidak sepakat dengan keputusan pemerintah yang menolak memulangkan ratusan WNI eks ISIS tersebut. Apalagi dari 600 orang itu terdiri dari anak-anak dan perempuan.
"Melihat dari segi hak asasi manusia tidak setuju. Kalau dari sudut pandang yang lain aku tidak berani, mereka berhak pulang karena punya hak hidup di Indonesia," ucapnya kepada VOA.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD memastikan pemerintah tidak akan memulangkan foreign terrorist fighter (FTF) ke Indonesia. Keputusan tersebut diambil dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (11/2/2020).
Keputusan tersebut diambil karena negara ingin menghadirkan rasa aman kepada seluruh masyarakat Indonesia. Pemerintah tidak ingin kepulangan WNI eks ISIS tersebut menjadi virus baru yang membuat seluruh masyarakat Indonesia tak merasa aman. Kendati demikian, pemerintah akan mempertimbangkan kepulangan anak-anak berusia kurang 10 tahun dari WNI eks ISIS tersebut. [aa/ft]