Kepada VOA di Jakarta, Senin, Johanes Jongga menjelaskan ia bersama para tokoh lain, Komnas HAM Papua, wakil pekerja Freeport dan kepolisian mengadakan pertemuan setelah terjadi bentrok antara pengunjuk rasa dan polisi. Meski aksi bentrok tidak dapat dihindari namun ia menyayangkan hal itu terjadi karena menurutnya persoalan tuntutan perbaikan kesejahteraan para pekerja Freeport dapat diselesaikan melalui langkah-langkah persuasif.
Johannes mengimbau pemerintah Indonesia untuk menjadi fasilitator. "Sebenarnya sikap polisi harus lebih berada di tengah," ujar Johannes. "Artinya, walaupun mereka memang ditugaskan untuk menjaga aset-aset vital dari negara ini, bagaimanapun juga, mereka harus lebih berada di tengah, untuk menegakkan keadilan dan lain sebagainya.”
Ditambahkan Johanes Jongga, seluruh pihak baik pemerintah pusat dan daerah, manajemen Freeport dan para pekerja harus bersikap jujur dan tidak mengutamakan kepentingan sepihak dalam menyelesaikan persoalan yang masih saja terjadi di Freeport.
“Kita menyerukan supaya segera ada tim khusus, independen yang bisa membantu baik Freeport maupun juga serikat buruh dan juga masyarakat untuk bisa duduk bersama, berdialog secara jujur dan mengutamakan kemanusiaan. Freeport sendiri dia juga harus jujur, lebih terbuka karena salah satu tuntutan adalah soal hak, ” ujar Jongga.
Menurut Thung Ju Lan dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PBM-LIPI), hingga kini, bentrok di Freeport masih saja terjadi karena pemerintah tidak pernah siap menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul. Ia menegaskan pihak ketiga, yaitu pemerintah, harus mampu lebih cepat mengatasi ketidakcocokan antara pekerja dan menajemen Freeport agar ketidakcocokan tersebut tidak semakin meluas menjadi isu nasional dan internasional.
Ia mengatakan, “Ini sebenarnya tergantung pada pihak ketiga yang mendamaikan. Kalau misalnya pihak ketiganya bisa memberikan alternatif yang cepat berupa beberapa pilihan, sehingga proses negosiasinya lebih cepat."
Thung Ju Lan menilai memang ada kelemahan pemerintah dalam mengembangkan pembangunan di kawasan Papua sehingga kesenjangan sosial dan ekonomi terus tercipta.
Lebih lanjut ia mengatakan, “Karena tahu sendiri negara kita kan banyak macamnya, apalagi pembangunan daerah timur kita tahu banyak ketimpangan, koreksi-koreksi harus dilakukan tetapi repotnya ini tidak ada blueprint-nya yang mengatakan tindakan ini akan dilakukan kapan, waktunya kapan, karena masyarakat menunggu, itu harus jelas berapa lama kita harus menunggu, ini yang repotnya dalam berbagai hal kita tidak punya kepastian apa-apa.”
Sebelumnya pemerintah melalui kementerian tenaga kerja dan transmigrasi berupaya memfasilitasi antara manajemen Freeport dan para pekerjanya terkait tuntutan para pekerja yang menginginkan kenaikan upah. Namun, pihak Freeport menilai upah yang diberikan sudah layak bahkan 160 persen di atas upah minimum regional atau UMR yang berlaku di Papua.