Human Rights Watch mengatakan polisi menangkap lebih dari 300 demonstran di Papua, yang mendeklarasikan kemerdekaan dari Indonesia, pada hari Rabu. Para pengunjukrasa juga mendesak penutupan tambang emas dan timah Freeport McMoran, di mana sejumlah operasinya sesekali berhenti akibat pemogokan buruh dengan kekerasan.
Kerusuhan di Jayapura Papua pada hari Rabu berawal ketika tentara Indonesia melepaskan tembakan peringatan ke udara karena para pemimpin berpengaruh di Papua mendeklarasikan kemerdekaan dari Indonesia. Pasukan militer Indonesia memukuli para pengunjukrasa dengan tongkat rotan dan pentungan di luar acara Kongres Rakyat Papua di Abepura, yang dihadiri oleh sekitar 5.000 orang.
Para pengunjukrasa dalam Kongres itu juga mengibarkan bendera Bintang Kejora yang kontroversial, simbol kemerdekaan Papua, sebuah tindakan yang diancam hukuman penjara panjang.
Polisi Papua hari Kamis mengumumkan bahwa ada dua korban tewas dalam unjukrasa kemerdekaan itu, dan lima orang yang diduga terlibat dalam kerusuhan, termasuk sejumlah pemimpin kemerdekaan Papua yang berpengaruh, yang telah dituntut dengan pasal pengkhianatan dan kepemilikan senjata.
Para pengunjukrasa juga menyampaikan kesedihan tentang kondisi kerja di tambang Freeport, yang ditutup untuk sementara waktu pekan ini setelah pemogokan panjang dan keprihatinan akan masalah keamanan.
Tetapi Todd Elliot, seorang analis resiko yang berkantor di Jakarta mengatakan tidak ada hubungan langsung antara gerakan para pekerja dan tuntutan kemerdekaan di Papua.
“Saya kira tidak ada hubungan langsung antara kongres tersebut dan masalah-masalah buruh di Freeport. Tetapi saya kira keduanya dipicu oleh sejumlah masalah mendasar bahwa warga asli Papua merasa terpinggirkan dan tidak mendapat perlakuan adil,” ujar Todd Elliot.
Aktivis Papua Dorus Wakum mengatakan bagi kebanyakan warga asli Papua, Pemerintah Indonesia dan Freeport telah menjadi lambang pelanggaran HAM dan meningkatnya ketidakadilan.
Dorus Wakum menjelaskan, “Freeport datang ke Papua dan melakukan banyak pelanggaran dengan Pemerintah. Jadi kenapa kongres di Papua mengumumkan penutupan Freeport?. Karena mereka melihat Freeport tidak memberi manfaat kepada warga Papua. Itu masalahnya.”
Sementara, Yohannes Sulaiman, seorang dosen dari National Defense University di Jakarta mengatakan, masalah berawal dari kurangnya pendidikan dan korupsi yang memakan banyak anggaran pemerintah, serta menghentikan warga Papua dari pekerjaan-pekerjaan bergaji tinggi di Freeport.
“Ada korupsi yang sangat besar di Kementerian Pendidikan. Hal ini membuat situasi bertambah parah. Jadi saya benar-benar tidak bisa menyalahkan warga Papua yang mengatakan mereka marah dengan Freeport dan pemerintah karena melihat pemerintah tidak melakukan apapun untuk mereka. Mereka tidak melihat kepedulian pemerintah terhadap warga lokal,” kata Yohannes.
Kongres Papua hari Rabu merupakan yang ketiga sejenisnya. Yang terakhir diselenggarakan lebih dari sepuluh tahun lalu. Papua merupakan salah satu kawasan termiskin di Indonesia, tetapi propinsi itu juga kaya sumber daya alam.
Kelompok separatis telah mendesak kemerdekaan dari Indonesia sejak puluhan tahun lalu dan meskipun propinsi itu sudah mendapat status otonomi khusus, namun Papua tetap menjadi isu sensitif.
Pemerintah pusat di Jakarta masih belum mengeluarkan pernyataan tentang kongres tersebut, sebuah reaksi yang menurut analis Todd Elliot merupakan karakteristik dari pendekatan pemerintah sekarang terhadap Papua.
“Saya kira apa yang patut dicatat adalah kurangnya reaksi dari pemerintah Indonesia. Tidak ada perhatian langsung dari pemerintah SBY sekarang dan juga pemerintahan sebelumnya, meskipun muncul desakan dari sejumlah orang, termasuk sejumlah pejabat dan mantan pejabat serta menteri yang berpengaruh, untuk melakukan dialog damai dan resolusi atas masalah-masalah di Papua. Hal ini terjadi dan anda tidak mendengar kabar apapun dari Istana Negara atau siapapun di sana,” demikian menurut Todd Elliot.
Dalam insiden ini, lima orang tersangka dituntut dengan pasal pengkhianatan dan kepemilikan senjata, dan menghadapi ancaman hukuman enam hingga 20 tahun penjara.