Tautan-tautan Akses

Pengamat: Pemerintah Harus Pulihkan Nama Soekarno


Presiden Soekarno (tengah) dalam peringatan HUT ke-21 Republik Indonesia di Lapangan Merdeka, depan Istana Merdeka, Jakarta, 17 Agustus 1966. Latar belakang: Pangkopkamtib Mohamed Soeharto (kiri). (AFP)
Presiden Soekarno (tengah) dalam peringatan HUT ke-21 Republik Indonesia di Lapangan Merdeka, depan Istana Merdeka, Jakarta, 17 Agustus 1966. Latar belakang: Pangkopkamtib Mohamed Soeharto (kiri). (AFP)

Pencabutan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor 33 Tahun 1967 menjadi penutup babak panjang ketidakadilan yang dialami Soekarno sekaligus menghilangkan stigma atau tuduhan soal keterlibatan presiden pertama Indonesia itu dalam gerakan 30 September atau G30S/PKI.

Ketua MPR Bambang Soesatyo bersama sembilan pimpinan MPR lainnya melakukan penyerahan surat pimpinan MPR tentang dicabutnya TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 kepada keluarga Soekarno, proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia.

Surat Pimpinan MPR tersebut merupakan jawaban atas Surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia perihal Tindak Lanjut Tidak Berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang sesuai dengan TAP MPR Nomor I Tahun 2003. Dalam TAP MPR No.1 itu dinyatakan bahwa TAP MPRS No. 33 Tahun 1967 tentang pengalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto sudah tidak berlaku lagi dan final.

Namun hal tersebut masih menjadi persoalan karena pertimbangan dalam TAP MPRS tersebut yang menyatakan Soekarno membantu gerakan G30S PKI tidak secara eksplisit dinyatakan dicabut atau tidak.

Bambang menjelaskan, melalui surat tersebut, pimpinan MPR menegaskan bahwa secara yuridis tuduhan terhadap Presiden Soekarno yang dianggap memberikan kebijakan yang mendukung pemberontakan dan pengkhianatan G-30-S/PKI pada tahun 1965, dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1963-2002.

Anak pertama Presiden Soekarno dan Fatmawati, Guntur Soekarnoputra menegaskan ayahnya tidak pernah terlibat maupun mendukung pemberontakan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia atau G30S PKI. Ia menyesalkan Bung Karno harus menerima tuduhan dan menjalani hukuman tanpa proses peradilan apapun. Tindakan tersebut, kata Guntur, bukan saja tidak berperikemanusiaan, tetapi di luar akal sehat.

“Namun demikian, kami sekeluarga telah bersepakat tidak akan mempersoalkan, apalagi menuntut ketidakadilan di muka hukum terhadap apa yang pernah dialami Bung Karno tersebut pada saat ini,” katanya.

Keluarga Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, tahun 1952. Searah jarum jam: Soekarno, Sukmawati, Fatmawati, Guruh, Megawati, Guntur, Rachmawati. (Wikipedia)
Keluarga Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, tahun 1952. Searah jarum jam: Soekarno, Sukmawati, Fatmawati, Guruh, Megawati, Guntur, Rachmawati. (Wikipedia)

Sejarawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam mengatakan surat yang disampaikan oleh pimpinan MPR tersebut merupakan penguatan atas apa yang sudah dilakukan MPR pada tahun 2003. Pasalnya TAP MPRS No.33 Tahun 1967 dikeluarkan oleh MPRS maka yang berhak mencabut juga harus MPR. Yang perlu dilakukan pemerintah saat ini ungkap Asvi adalah melakukan pelurusan sejarah dan pemulihan nama Soekarno melalui pelajaran di sekolah.

“Jadi pelajaran sejarah yang menurut hemat saya, itu diberikan atau disampaikan mengenai presiden soekarno. Misalnya menyangkut bahwa dia memang tidak membantu atau tidak terbukti membantu gerakan 30 September misalnya. Jadi pelurusan sejarah yang lebih penting sekarang dilakukan oleh pemerintah,” ujarnya kepada VOA.

Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam. (Foto: VOA/Nurhadi)
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam. (Foto: VOA/Nurhadi)

Asvi menjelaskan pada tahun 2003, MPR mengeluarkan ketetapan Nomor I yang menilai semua TAP MPRS dan MPR dari 1963-2002. Ada yang ditetapkan masih berlaku seperti TAP MPRS No.25 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan ada yang dinyatakan sudah final atau tidak berlaku seperti TAP MPRS No.33 Tahun 1967 tentang peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Namun yang menjadi persoalan lanjutnya terkait pertimbangan dalam TAP MPRS/33/1967 yang menyebut Soekarno membantu gerakan 30 September (G30S) 1965 tidak secara eksplisit dinyatakan dicabut.

Kemudian kata Asvi persoalan itu akhirnya diselesaikan pada tahun 2012 dengan mengangkat kembali Soekarno sebagai pahlawan nasional. Sebelumnya presiden pertama Indonesia itu sudah diangkat sebagai pahlawan proklamator tahun 1986.

“Tapi kemudian diulang lagi atau diangkat lagi menjadi pahlawan nasional pada tahun 2012. Kenapa? Salah satu persyaratan dari pahlawan nasional itu adalah tidak berkhianat terhadap negara. Dengan tidak berkhianat terhadap negara, itu diinterpretasikan bahwa dia juga tidak mungkin lolos sebagai pahlawan nasional apabila dia misalnya membantu suatu gerakan kudeta untuk menggulingkan presiden,” ujarnya.

FILE - Patung Bung Karno di depan Museum Istana Gebang, Blitar (Petrus Riski/VOA)
FILE - Patung Bung Karno di depan Museum Istana Gebang, Blitar (Petrus Riski/VOA)

Lebih lanjut Asvi mengungkapkan sejak reformasi, sebenarnya keluarga bung Karno khususnya Rachmawati Soerkarnoputri telah berjuang untuk memulihkan nama ayahnya. Rachma ketika itu mengajukan judicial review atas TAP MPR No.I Tahun 2003 tapi tidak berhasil. Anak ketiga Presiden Soekarno itu menggugat TAP MPR itu karena tidak secara eksplisit menghapus pertimbangan dalam TAP MPRS N0.33 Tahun 1967.

Bukan hanya Rachmawati kata Asvi, suami Megawati Soekarnoputri, Taufik Kiemas yang ketika itu menjabat sebagai ketua MPR mengundang sejarawan dan ahli hukum seperti Jimly Assidiqie, Anhar Gonggong dan juga dirinya serta yang lainnya untuk membicarakan bagaimana menyelesaikan masalah pertimbangan dari TAP MPRS 33.

Pengamat: Pemerintah Harus Pulihkan Nama Soekarno
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:59 0:00

Di dalam pertemuan itu banyak pendapat, tapi yang terjadi adalah pada tahun 2012 keputusannya adalah mengangkat Soekarno- Hatta sebagai pahlawan nasional, jadi itu solusinya, ungkapnya.

Ketika ditanya apakah yang dilakukan MPR saat ini bermuatan politis? Asvi menilai, “Saya melihat juga belakangan ini ada gerakan di media sosial dari berbagai organisasi untuk memakzulkan Jokowi, tidak melantik Gibran. Nah, apakah tindakan-tindakan semacam ini justru untuk membuat lunak sikap PDIP? PDIP misalnya tidak mendukung upaya gerakan untuk memakzulkan Jokowi misalnya seperti itu. Ini tentunya bisa dicegah artinya dengan melakukan pendekatan PDIP jangan mendukung gerakan-gerakan semacam itu,” lanjut Asvi.

Ujang Komarudin. (Foto: wikipedia)
Ujang Komarudin. (Foto: wikipedia)

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan tidak menutup kemungkinan kepentingan politik lebih besar dalam pencabutan tersebut.

“Karena itu lembaga politik (MPR), diisi oleh orang politik. Ya kebijakan politik, bermuatan politik dan dampaknya juga politik. Semua ada landasan argument entah argument secara objektif atau subjektif dan dalam konteks itu mungkin saja bahwa kepentingan politik lebih besar dalam pencabutan TAP MPRS itu,”kata Ujang.

TAP MPRS Nomor33/1967 menjadi tonggak sejarah penting dalam peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno menuju Orde Baru. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun 1966 menggelar Sidang Umum, meminta Soekarno memberikan pertanggungjawaban atas kebijakan yang diambil selama krisis nasinal.

Soekarno menyampaikan pidato pertangungjawaban pada 22 Juni 1966. Namun, pidato itu dianggap tidak memenuhi harapan banyak pihak karena tidak memuat pertangungjawaban rinci terkait keterlibatannya dalam peristiwa G30S dan situasi nasional saat itu.

Presiden Soekarno (kiri) bersama Jenderal Soeharto (kanan), setelah sidang pembubaran komando penumpasan Malaysia di Jakarta, 24 Agustus 1966. (PANASIA-FILES/AFP)
Presiden Soekarno (kiri) bersama Jenderal Soeharto (kanan), setelah sidang pembubaran komando penumpasan Malaysia di Jakarta, 24 Agustus 1966. (PANASIA-FILES/AFP)

Setelah pidato, pertangungjawaban Soekarno itu ditolak dan ia mengajukan laporan tertulis tambahan pada Januari 1967. Namun laporan ini kembali dianggap tidak memadai oleh MPRS.

Sebagai hasil dari ketidakpuasan tersebut, Sidang Istimewa MPRS pada 7-12 Maret 1967 menetapkan MPRS Nomor 33, mencabut kekuasaan pemerintahan dari Soekarno. Keputusan ini didasarkan pada laporan Panglima Operasi Pemulihan Keamanan yang menyebut kebijakan Soekarno dianggap memberi keuntungan pada pihak yang terlibat dalam G30S, khususnya Partai komunis Indonesia (PKI). [fw/jm]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG