Tiga arsip dokumenter Indonesia yang bernilai sejarah tinggi, yaitu Pidato Soekarno “To Build the World Anew,” dokumen Pertemuan Pertama Gerakan Non Blok, dan Hikayat Aceh, dinyatakan sebagai “Ingatan Kolektif Dunia” atau “Memory of the World” UNESCO. Penetapan ketiga arsip bersejarah itu telah dilakukan dalam Sidang Dewan Eksekutif ke-216 UNESCO di Paris Mei lalu, tetapi sertifikat resminya baru diserahkan kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia, Senin (3/7).
Dalam keterangan pers yang diterima VOA, Kementerian Luar Negeri menyatakan “dengan ditetapkannya tiga arsip bersejarah ini sebagai “Ingatan Kolektif Dunia,” Indonesia berhasil memperkenalkan nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam dokumen-dokumen itu kepada dunia.” Ditambahkan, “penghargaan ini juga memperkuat posisi Indonesia dalam upaya pelestarian dan promosi kekayaan budaya serta sejarah nasional dan dunia.”
Sejarawan Aceh, Nurdin AR, kepada VOA mengatakan “sebagai orang Aceh merasa sangat bangga dan bersyukur dengan diakuinya Hikayat Aceh sebagai Memory of the World UNESCO.” Hal ini menurutnya akan ikut “mengangkat salah satu produk budaya intelektual Aceh ke kancah internasional.”
Sebagai sejarawan yang kerap mengkaji dengan teliti dokumen-dokumen sejarah, terutama sejarah Aceh, Nurdin mengikuti proses persiapan dan pengajuan Hikayat Aceh sebagai “Memory of the World” UNESCO.
“Sejak awal saya mendukung karena manuskrip Hikayat Aceh sangat langka, yang hingga saat ini hanya ditemukan dalam dalam tiga manuskrip saja, yaitu: Cod. Or. 1954 dan Cod. Or. 1983 di Perpustakaan Universitas Leiden Negeri Belanda, dan ML 421 di Perpustakaan Nasional Indonesia Jakarta,” jelasnya.
Ditambahkannya, Cod. Or. 1954 dan Cod. Or. 1983 merupakan manuskrip yang berbeda, tetapi ML 421 merupakan salinan dari Cod. Or. 1954. “Hikayat Aceh merupakan sumber primer yang menjadi rujukan utama sejarah Aceh,” ujarnya pengajar di UIN Arraniri Darussalam, Aceh, ini.
Penetapan UNESCO Sedianya Dorong Indonesia Lebih Serius Dokumentasikan Arsip Sejarah
Diwawancarai secara terpisah, Rektor Institut Seni Budaya Indonesia di Aceh, Dr. Wildan mengatakan pengakuan dunia atas dokumen-dokumen bersejarah ini sedianya mendorong semua pihak di Indonesia untuk mulai serius mendokumentasikan arsip sejarah.
“Ini karena harus diakui kita sangat lemah dalam soal mengarsipkan dokumen. Jika sekarang ada anak muda, generasi baru, yang ingin mengetahui bagaimana sih kehidupan warga masyarakat di era Kesultanan Iskandar Muda, atau bagaimana perlawanan dalam Perang Sabi, perang yang berlangsung di sejumlah lokasi di Aceh, maka tidak banyak yang tahu dan dapat menceritakannya. Padahal ada yang ditulis rinci dalam Hikayat Aceh, atas perintah sultan yang berkuasa ketika itu," ujarnya.
"Sayangnya dokumen ini justru berada di negara atau daerah lain. Sama seperti keberadaan sejarawan Belanda, Prancis dan lainnya yang banyak menulis dan menggambarkan hal-hal yang terjadi di tanah air kita. Bagus sih, tapi mereka menulis dari versi mereka,” lanjut Dr.Wildan.
11 Dokumen Indonesia Jadi “Memory of the World” UNESCO
Dengan penetapan tiga dokumen bersejarah ini sebagai “Ingatan Kolektif Dunia” atau “Memory of the World” UNESCO, berarti kini ada 11 dokumen Indonesia yang masuk kategori ini. Delapan lainnya yang sudah lebih dulu ditetapkan UNESCO adalah: Arsip VOC, Arsip Konferensi Asia Afrika, Babad Diponegoro, Arsip Konservasi Borobudur, Arsip Tsunami, La Galigo, Nagarakartagama dan Cerita Panji. Saat ini ada 496 dokumen dunia yang dikategorikan sebagai “Memory of the World” UNESCO.
Dalam Sidang Dewan Eksekutif ke-216 UNESCO Mei lalu, ditetapkan pula empat geopark Indonesia sebagai “Global Geopark.” Keempatnya adalah Ijen Geopark, Maros Pangkep Geopark, Merangin Geopark dan Raja Ampat Geopark. Dengan tambahan empat geopark baru ini maka Indonesia memiliki 10 dari 195 “Global Geopark” UNESCO. Enam lainnya adalah Batur, Gunung Sewu, Cileteuh, Rinjani, Toba dan Belitung. [em-jm/es]
Forum