Meski harus menindak ujaran kebencian, pemerintah melalui kepolisian harus berhati-hati. Dalam Surat Edaran Kapolri No.6 tahun 2015 disebutkan, ucapan yang tidak menyenangkan disejajarkan dengan ujaran kebencian. Kondisi ini belakangan menyebabkan sejumlah orang yang menyampaikan kritik terhadap perusahaan atau seorang tokoh, juga dijerat dengan dasar hukum yang sama.
Pengamat Hukum dari Mata Garuda Institute, Ola Anisa Ayutama kepada VOA di Yogyakarta menyebut, ujaran kebencian harus dibatasi pada hal-hal menyangkut kepentingan publik. Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, kata Ola menyebut bahwa ujaran kebencian adalah penyebaran dan penghasutan ide berbasis diskriminasi dan kebencian rasial.
Polisi selama ini menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum pemidanaan ujaran kebencian melalui perangkat elektronik.
Indonesia juga sudah memiliki UU No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Indonesia juga harus membuat perangkat hukum baru, untuk memidanakan ujaran kebencian yang disampaikan langsung, misalnya melalui orasi dalam demonstrasi atau pidato.
“Kalau dari perangkat hukum UU ITE sebenarnya sudah cukup, tetapi sekarang ada kendala karena ITE hanya berlaku diranah elektronik. Kita belum punya perangkat untuk menindak ujaran kebencian yang diucapkan langsung, misalnya dalam pidato atau orasi, yang tidak disebarkan secara elektronik tetapi di depan massa secara langsung. Itu tidak masuk ranah ITE, padahal massanya banyak dan dia punya pengaruh. Sedangkan di KUHP itu ranahnya penghinaan, padahal penghinaan dan ujaran kebencian itu berbeda,” kata Ola Anisa Ayutama.
Ola juga mengatakan, polisi wajib menindak ujaran kebencian sedini mungkin. Namun negara wajib menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang tidak didasari kebencian rasial, etnis dan agama.
"Tindakan tegas harus diambil dengan hati-hati. Apalagi dalam kasus (sindikat penyebar ujaran kebencian atau isu SARA dan hoax) Saracen ini, di manaujaran kebencian sudah dilakukan secara terorganisir. Kalau dibiarkan, hate speech ini akan berlanjut menjadi hate crime, yaitu kejahatan berdasar kebencian rasial, etnis maupun agama. Di Indonesia contohnya banyak, misalnya kebencian kepada kelompok Ahmadiyah yang diikuti pembakaran masjid dan pengusiran," tambah Ola.
Peneliti retorika dan media dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Desideria Murti menegaskan bahwa ujaran kekerasan dan kebencian cenderung dibiarkan. Murti mengatakan, jika ujaran kekerasan dan kebencian dibiarkan terus menerus, masyarakat cenderung semakin mudah melakukan kekerasan.
"Kita bisa melihatnya di sinetron, media sosial bahkan khutbah pemuka agama. Misalnya kalimat-kalimat seperti bakar saja kalau nyolong! Halal darahnya! Bunuh! Kerjain sampai mampus! Itu semua banyak beredar di masyarakat tanpa ada intervensi dari pemerintah," ujar Murti.
Tegas itu bukan (berarti bersikap seperti) diktator atau melanggar hak berbicara. Bahkan di negara Barat yang terkenal liberal, ungkapan kekerasan pun ada batasnya dan pemerintah di sana berani menindak dengan seriusDesideria Murti, Peneliti Retorika dan Media Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Murti menegaskan, banyak negara menganggap serius ucapan bernada kekerasan atau kebencian. Di Australia misalnya, polisi bisa memerintahkan seseorang untuk tidak mendekat dalam jarak tertentu apabila dia mengucapkan kalimat bernada kebencian pada orang lain.
Begitu pun dalam kasus pemain bulutangkis Denmark yang mengeluhkan teriakan bunuh oleh penonton sebuah turnamen internasional di Indonesia bulan lalu. Pemerintah Indonesia tidak memberi perhatian, sedangkan pemerintah Denmark menanggapi hal itu dengan serius.
"Tegas itu bukan (berarti bersikap seperti) diktator atau melanggar hak berbicara. Bahkan di negara Barat yang terkenal liberal, ungkapan kekerasan pun ada batasnya dan pemerintah di sana berani menindak dengan serius,"
kata Desideria Murti, Peneliti Retorika dan Media, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Dihubungi terpisah, LBH Pers Indonesia juga mendukung tindakan tegas kepolisian dalam kasus Saracen. Organisasi itu mengatakan, jika dibiarkan, ujaran kebencian dan kebohongan yang terorganisir akan mengancam keharmonisan hidup masyarakat.
Direktur Eksekutif LBH Pers Indonesia Nawawi Bahrudin, menggarisbawahi dua hal yang penting dilakukan pemerintah, yaitu menyempurnakan aturan hukum yang ada dan mendidik masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi.Ia mengatakan, dengan mengusut tuntas kasus Saracen, masyarakat belajar bahwa kebebasan berpendapat harus dilakukan secara bertanggung jawab.
“Saya pikir pemerintah harus pada posisi yang bijak dalam hal, ini, melihat perkembangan teknologi yang tidak mungkin dibatasi dan nggak boleh dibatasi juga, tetapi dalam satu sisi memang ada masyarakat tertentu yang menggunakan ini secara tidak baik, yang bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Hal seperti Saracen ini menurut kami sudah tindak pidana. Kasus Saracen itu pidana murni, dan tidak ada toleransi untuk ujaran kebencian yang mengganggu keutuhan negara,” kata Nawawi Bahrudin. [ns/ab]