Menanggapi keberadaan sindikat penyebar pesan kebencian di media sosial, seperti yang dilakukan kelompok Saracen, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk segera mengusut tuntas sindikat tersebut hingga ke akarnya.
Kepada wartawan usai meninjau pameran 'Infrastruktur Dalam Foto' pada Minggu (27/8) di Lapangan Silang Monas Jakarta Jokowi meminta agar penyidikan kasus ini dapat juga mengungkap para pemesan jasa penyebar kebencian di media sosial melalui kelompok Saracen.
"Saya sudah perintahkan kepada Kapolri diusut tuntas bukan hanya Saracen-nya saja, tapi siapa yang pesan, siapa yang bayar, harus diusut tuntas. (Dugaan ada mantan Jenderal?) Tadi kan sudah saya sampaikan bukan hanya yang di organisasi itu, tapi siapa yang pesan. Yang penting kan di situ," tandas Jokowi.
Langkah tegas lanjut Jokowi harus segera dilakukan, mengingat semakin terbukanya arus informasi di media sosial, termasuk ujaran kebencian maupun kabar bohong atau hoaks. Sehingga menurut Jokowi, apabila Saracen dibiarkan akan berpotensi memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Semua negara mengalami ini. Individu saja sangat merusak kalau informasinya itu tidak benar, bohong, apalagi fitnah. Apalagi yang terorganisasi. Ini mengerikan sekali, kalau dibiarkan akan mengerikan. Apalagi memiliki akun sampai ribuan ratusan ribu," tambahnya.
Jokowi berpesan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menggunakan media sosial secara bijaksana dan tepat guna. Utamanya untuk menyampaikan hal-hal yang bersifat positif, optimis, dan membangun rasa cinta Tanah Air.
"Ya kalau kabarnya menyampaikan hal yang positif, menyampaikan optimisme, mengajak masyarakan membangun dan mengajak masyarakat berbuat baik ya ga pa pa. Mau jutaan akun juga nggak papa. Tapi kalau sudah memecah belah, mengabarkan hal fitnah, mencela orang lain, berbahaya bagi NKRI," tegas Jokowi.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengimbau semua pihak mendorong pengusutan siapa di balik Saracen ini. Tjahjo menyinggung proses pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilpres) yang kerap diisi oleh ujaran kebencian. Tjahjo juga mengusulkan selain proses hukum juga terkait langkah tegas dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Pasangan capres cawapres, pasangan pilkada atau tim suksesnya. Yang berkampanye tidak adu program tidak adu konsep tetapi mengujar kebencian mengujar fitnah mengujar SARA, saya kira harus berani untuk menindak. Baik secara hukum maupun mungkin pada tahap di diskualifikasi. Kami mengapresiasi Polri yang membongkar jaringan ini," kata Tjahjo.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpendapat, hasil pemilu tidak dapat dirubah seketika terkait dengan kasus Saracen.
"Bahwa ada perintah Presiden sekarang, itu saya kira lebih ke pemilu-pemilu atau pilkada ke depannya ya. Untuk membatalkannya yang sudah lalu saya kira cukup sulit," ujar Lucius.
Pada pekan lalu polisi mengungkap kelompok Saracen, pelaku yang menyebar ujaran kebencian bernuansa SARA dan hoaks di media sosial, serta memiliki ratusan ribu akun.
Dalam kasus ini, ketiga pelaku yang ditangkap, yakni JAS, MFT, dan SRN, dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 22 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan/atau Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman 4 tahun penjara. [aw/em]