Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kamis sore (17/12) telah memilih lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 melalui pemungutan suara.
Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Agus Rahardjo terpilih menjadi Ketua KPK. Empat pimpinan terpilih lainnya adalah staf ahli sosial politik Kapolri Irjen Basaria Pandjaitan, staf ahli BIN Thony Saut Situmorang, hakim ad hoc Tipikor Alexander Marwata dan dosen Fakultas Hukum Universitas Makassar Laode Muhammad. Tiga calon pemimpin KPK dari kalangan internal yaitu Busro Muqoddas, Johan Budi Sapto Pribowo, dan Sujanarko tidak terpilih.
Pengamat: Tak Ada Komitmen Pemberantasan Korupsi pada Pimpinan baru KPK
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Miko Susanto Ginting kepada VOA hari Jumat (1812) khawatir pemimpin baru KPK tidak akan membawa kemajuan bagi iklim pemberantasan korupsi. Ini didasarkan pada tidak adanya komitmen pemberantasan korupsi yang jelas dari kelima pimpinan komisi anti rasuah itu.
Hal itu – lanjut Miko – terlihat ketika mereka melakukan wawancara terbuka hingga uji kelayakan dan kepatutan.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, kelima pemimpin baru terpilih itu merupakan orang-orang yang setuju terhadap revisi Undang-undang KPK, yang salah satu point pentingnya adalah memangkas kewenangan KPK dalam hal penyadapan, yang diusulkan baru bisa dilakukan jika memperoleh ijin dari pengadilan. Padahal selama ini KPK berhasil mengungkap sejumlah kasus korupsi dari hasil penyadapan yang dilakukannya.
Miko Susanto Ginting juga menyesalkan adanya salah seorang pemimpin KPK yang setuju supaya KPK bisa menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Selama ini setiap kasus yang diproses KPK tidak pernah dapat berhenti.
Bahkan ada salah seorang pemiimpin yang menyatakan akan menutup kasus-kasus besar yang kini sedang ditangani KPK, seperti kasus Bank Century dan pelanggaran BLBI – Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
"Seharusnya pemilihan pimpinan KPK itu memuculkan harapan publik terhadap masa depan KPK dan penguatan pemberantasan korupsi, tetapi yang terjadi sebaliknya. Pimpinan KPK yang terpilih justru mengkhawatirkan,” kata Miko.
Ditambahkannya, salah seorang pimpinan terpilih KPK – Alexander Marwata – yang sebelumnya menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kerap memberikan “dissenting opinion” dalam putusannya, yang berakhir dengan pembebasan terdakwa korupsi.
Dikhawatirkan Ada Kesengajaan untuk Memperlemah KPK
Melihat hal-hal ini, Miko menilai ada upaya yang sengaja dilakukan sejumlah pihak – termasuk DPR – untuk memperlemah KPK. Untuk mencegah hal itu, publik dan orang-orang di dalam KPK – menurut Miko – harus melakukan pengawasan ekstra terhadap lembaga itu.
Miko menambahkan, "Karena pemerintah dan DPR tidak menunjukan komitmen yang jelas terhadap penguatan KPK dan pemberantasan korupsi, maka harapan terakhir berada pada publik dan internal KPK sendiri agar KPK tetap kuat."
Sebaliknya, Ketua Komisi Hukum DPR Azis Syamsudin mengatakan kelima pimpinan KPK yang terpilih ini merupakan orang-orang terbaik. Ia berharap agar kelima pimpinan KPK terpilih bisa mengemban amanah dan melakukan tugas kewenangannya, sesuai dengan proses yang telah dilalui.
“Kita harapkan dari teamwork yang bisa bersatu, kekompakan dari teamwork dari tahun 2015-2019 akan menghasilkan output yang berguna bagi penegakan hukum,” papar Aziz.
Dalam kesempatan terpisah, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Aradillah Caesar meminta lima komisioner terpilih memperjuangkan nasib penyidik Novel Baswedan yang terus kini dikriminalisasi oleh polisi, yang sebenarnya merupakan bekas korpsnya. Langkah KPK dalam kasus yang mendapat sorotan luas masyarakat ini – menurut Aradillah – akan menjadi cermin kinerja KPK ke depan. [fw/wm]