JAKARTA —
Terkait pembahasan legislasi jaminan produk halal, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Berly Martawardaya, mengatakan harus ada lebih dari satu lembaga yang berhak menerbitkan sertifikat produk halal sehingga proses sertifikasi tersebut dapat dilakukan lebih cepat dan murah.
Ia menambahkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai penerbit sertifikasi halal memiliki keterbatasan kapasitas dan laboratorium yang dimiliki.
Berly berharap sertifikasi produk halal ini tidak diwajibkan bagi kelompok usaha kecil dan menengah karena selama ini proses sertifikasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga itu akan membebani mereka.
“Lebih cepat dan lebih mudah dan murah kalau tidak hanya satu institusi. Prinsipnya inikan seperti [standar mutu] ISO, harus ada proses bisnis yang harus dilalui dan ini tidak harus oleh MUI. Yang penting kompetensinya memadai,” ujarnya.
“Kita juga punya BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Ini jangan menjadi sumber dananya MUI. Prosedur-prosedurnya harusnya memiliki indikator bahwa ini mudah, bahwa ini murah dan cepat. Jadi saya kira itu yang menjadi tolak ukur dan indikator.”
Dewan Perwakilan Rakyat saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal, yang nantinya akan menentukan lembaga mana yang berhak menerbitkan sertifikasi. Pembahasan ini telah dilakukan sejak 2004 lalu. Rencananya RUU tersebut akan disahkan pada akhir Februari ini.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mendesak DPR agar menetapkan MUI sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menerbitkan sertifikat produk halal.
Anggota Panitia Kerja RUU Jaminan Produk Halal, Ali Maschan Moesa, mengatakan setuju harus ada lembaga lain selain MUI yang berhak menerbitkan sertifikat produk halal, agar ada persaingan yang sehat.
MUI, menurut Ali Maschan, tidak perlu khawatir dengan keikutsertaan lembaga lain dalam menerbitkan sertifikat produk halal karena apabila masyarakat sudah percaya dengan MUI, maka dia akan meminta sertifikat produk halal dari MUI dan bukan lembaga lain.
Sejumlah anggota Pansus RUU itu, lanjut Ali Maschan, berencana akan mengusulkan adanya lima lembaga yang berhak mengeluarkan sertifikat produk halal di Indonesia.
“Saya harus akuilah yang merintis (sertifikat halal) itu MUI. Nah, MUI tetap kita hargai sebagai orang yang mendahului. Tetapi persoalan hari ini PBNU sekarang punya, mungkin sebentar lagi Muhammadiyah juga punya. Sebenarnya jalan tengahnya sudah cukup bagus, kalau regulatornya Menteri Agama, tetapi operatornya silakan masyarakat termasuk MUI punya, PBNU punya, itu sebenarnya yang paling rasional,” ujar Ali.
Ketua Koordinator Harian MUI Ma’ruf Amin menyatakan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan kosmetika (LPPOM) MUI telah memiliki pengalaman selama 24 tahun dalam memastikan kehalalan produk. Standar halal MUI pun, kata Ma’ruf Amin, telah diakui oleh dunia internasional.
Lebih lanjut Ma’ruf Amin menyatakan apabila ada lembaga lain selain MUI yang berhak menerbitkan sertifikasi produk halal, dikhawatirkan akan menimbulkan kebingungan di masyarakat apabila terjadi perbedaan pendapat dalam penetapan produk yang halal atau tidak.
“Nanti bisa terjadi kebingungan,kalau sama putusannya kalau tidak sama gimana, akan ada kekacauan. MUI itu merupakan representasi dari Ormas-ormas Islam jadi Ormas-ormas Islam sudah terrepresentasikan di dalam Majelis Ulama,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai penerbit sertifikasi halal memiliki keterbatasan kapasitas dan laboratorium yang dimiliki.
Berly berharap sertifikasi produk halal ini tidak diwajibkan bagi kelompok usaha kecil dan menengah karena selama ini proses sertifikasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga itu akan membebani mereka.
“Lebih cepat dan lebih mudah dan murah kalau tidak hanya satu institusi. Prinsipnya inikan seperti [standar mutu] ISO, harus ada proses bisnis yang harus dilalui dan ini tidak harus oleh MUI. Yang penting kompetensinya memadai,” ujarnya.
“Kita juga punya BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Ini jangan menjadi sumber dananya MUI. Prosedur-prosedurnya harusnya memiliki indikator bahwa ini mudah, bahwa ini murah dan cepat. Jadi saya kira itu yang menjadi tolak ukur dan indikator.”
Dewan Perwakilan Rakyat saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal, yang nantinya akan menentukan lembaga mana yang berhak menerbitkan sertifikasi. Pembahasan ini telah dilakukan sejak 2004 lalu. Rencananya RUU tersebut akan disahkan pada akhir Februari ini.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mendesak DPR agar menetapkan MUI sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menerbitkan sertifikat produk halal.
Anggota Panitia Kerja RUU Jaminan Produk Halal, Ali Maschan Moesa, mengatakan setuju harus ada lembaga lain selain MUI yang berhak menerbitkan sertifikat produk halal, agar ada persaingan yang sehat.
MUI, menurut Ali Maschan, tidak perlu khawatir dengan keikutsertaan lembaga lain dalam menerbitkan sertifikat produk halal karena apabila masyarakat sudah percaya dengan MUI, maka dia akan meminta sertifikat produk halal dari MUI dan bukan lembaga lain.
Sejumlah anggota Pansus RUU itu, lanjut Ali Maschan, berencana akan mengusulkan adanya lima lembaga yang berhak mengeluarkan sertifikat produk halal di Indonesia.
“Saya harus akuilah yang merintis (sertifikat halal) itu MUI. Nah, MUI tetap kita hargai sebagai orang yang mendahului. Tetapi persoalan hari ini PBNU sekarang punya, mungkin sebentar lagi Muhammadiyah juga punya. Sebenarnya jalan tengahnya sudah cukup bagus, kalau regulatornya Menteri Agama, tetapi operatornya silakan masyarakat termasuk MUI punya, PBNU punya, itu sebenarnya yang paling rasional,” ujar Ali.
Ketua Koordinator Harian MUI Ma’ruf Amin menyatakan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan kosmetika (LPPOM) MUI telah memiliki pengalaman selama 24 tahun dalam memastikan kehalalan produk. Standar halal MUI pun, kata Ma’ruf Amin, telah diakui oleh dunia internasional.
Lebih lanjut Ma’ruf Amin menyatakan apabila ada lembaga lain selain MUI yang berhak menerbitkan sertifikasi produk halal, dikhawatirkan akan menimbulkan kebingungan di masyarakat apabila terjadi perbedaan pendapat dalam penetapan produk yang halal atau tidak.
“Nanti bisa terjadi kebingungan,kalau sama putusannya kalau tidak sama gimana, akan ada kekacauan. MUI itu merupakan representasi dari Ormas-ormas Islam jadi Ormas-ormas Islam sudah terrepresentasikan di dalam Majelis Ulama,” ujarnya.