Putusan majelis hakim itu dibacakan pada Rabu (30/3) lalu dalam sidang tertutup. Hanya terdakwa, jaksa, pengacara korban dan hakim yang terhubung secara daring. Namun yang lebih mengecewakan daripada keterbatasan akses terhadap sidang itu, adalah putusan majelis hakim PN Pekanbaru.
Meila Nurul Fajriah dari YLBHI menilai, putusan hakim mengkhianati semua pihak yang berjuang menghapus kekerasan seksual.
“Apa yang dilakukan hakim pada PN Pekanbaru itu sebuah pengkhianatan terhadap korban, khususnya pada kasus ini. Juga pada korban-korban kekerasan seksual pada umumnya. Karena kita tidak bisa pungkiri, bahwa satu putusan bisa menjadi acuan bagi hakim-hakim lain untuk membuat putusan yang sama,” kata Meila, dalam keterangan resmi kepada media, Selasa (5/4).
YLBHI, kata Meila, melihat hakim pada perkara ini, tidak mengindahkan Peraturan MA nomor 3/2017, tentang penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum.
“Putusan ini merupakan salah satu pukulan telak bagi kita semua, yang selama ini fokus pada perlindungan korban khususnya, dan juga selalu berupaya dapat mengakses perlindungan dan pemulihan bagi korban
Salah satu poin penting dalam kasus ini, adalah adanya relasi kuasa yang timpang antara SH sebagai Dekan Fisip Universitas Riau (UnRi), dengan korbannya yang seorang mahasiswi. Peraturan MA Nomor 3/2017 telah memberikan perhatian khusus terhadap relasi kuasa semacam ini, dalam kasus kekerasan seksual. Namun hakim di PN Pekanbaru tidak mengindahkanya.
“Hakim tidak mengindahkan relasi kuasa disitu. Kita bisa lihat antara dosen dan mahasiswi, apalagi dosen ini punya jabatan struktural tinggi di kampus,” tambah Meila.
Selain itu, hakim kasus ini juga menyatakan bukti perkara tidak kuat. Padahal Peraturan MA menegaskan, bahwa kondisi psikologis korban harus diperhatikan dan dapat dijadikan bukti.
“Apalagi jika itu sudah diperkuat jaksa dengan keterangan ahli. Kurang apa lagi? Kenapa tidak dibahas lebih lanjut,” tanya Meila.
YLBHI meminta, putusan kasus ini tidak dijadikan acuan bagi hakim lain ketika memeriksa perkara kekerasan seksual.
Vonis Bebas Berdampak Luas
Kasus ini terungkap karena korban yang merupakan mahasiswi jurusan Hubungan Internasional FISIP UnRi angkatan 2018, berinisial L berani berbicara. Melalui sebuah video, dia mengaku mengalami kekerasan seksual. Pelaku adalah dosen pembimbing skripsinya sendiri, yang juga dekan fakultas setempat. Tindakan itu dilakukan pelaku dalam bimbingan proposal skripsi pada Rabu 27 Oktober 2021, sekitar pukul 12.30 WIB. Kasus ini kemudian beralih ke proses hukum.
Rian Sibarani, pengacara korban dari LBH Pekanbaru mengatakan, vonis bebas ini akan memiliki dampak luas ke depan.
“Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas pada SH, yang merupakan Dekan Fisip Universitas Riau, atas perbuatan pencabulan yang diduga dilakukan terhadap mahasiswi bimbingannya. Ini adalah cerminan buruk terhadap penegakan kekerasan seksual di dunia pendidikan,” kata Rian.
Selain itu, Rian juga mengatakan putusan hakim berdampak buruk bagi penanganan kasus kekerasan seksual, dan seolah-olah akan melanggengkan kekerasan seksual khususnya di dunia pendidikan.
Jaksa sebelumnya telah menuntut SH dengan dakwaan primer pasal 289 KUHP, subsiber pasal 294 dan pasal 281. Namun menurut hakim, ketiga dakwaan dalam pasal itu tidak terbukti satupun. Tuntutan jaksa tiga tahun kurungan, berbalas putusan bebas dari hakim.
“Hakim tidak mempertimbangkan dampak psikis atau psikologis yang dialami penyintas, berdasarkan keterangan ahli serta hasil penelitian ahli dan psikolog terhadap penyintas,” tambah Rian mengomentari putusan hakim.
Selain itu, hakim menyatakan bahwa korban tidak dipukul atau dipaksa sehingga unsur kekerasan tidak terpenuhi. Namun hakim tidak mempertimbangkan kekerasan psikis atau psikologis yang dialami penyintas. Padahal ahli sudah mendukung adanya kekerasan psikis tersebut. Hakim juga dikritisi karena menyatakan ketimpangan relasi kuasa tidak bisa dijadikan alasan adanya ancaman kekerasan.
“Hakim tidak memandang secara komprehensif terkait kasus kekerasan seksual sehingga majelis hakim kaku dalam pembuktian, sehingga memvonis bebas terdakwa kekerasan seksual,” tandas Rian
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah karena menurut hakim, diperlukan saksi yang melihat kejadian secara langsung. Sementara, kata Rian, kekerasan seksual di ruang tertutup atau di ruang privat tidak memungkinkan adanya saksi yang melihat perbuatan tersebut.
Banyak Kasus Tak Dilaporkan
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyebut kasus di Riau ini adalah bagian dari kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lingkungan pendidikan.
Komnas Perempuan menerima 17 laporan pada 2020 dan sembilan laporan pada 2021 terkait kekerasan seksual di dunia pendidikan.
“Kasus yang dilaporkan hanya puncak. Masih dimungkinkan ada korban-korban lain yang belum mengklaim keadilannya, baik melalui kampus maupun sistem peradilan,” tandasnya.
Komnas Perempuan, lanjut Aminah, telah menyampaikan rekomendasi agar sistem penyelengaraan pendidikan nasional, serius dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, sejak 2015 lalu. Ini penting karena Komnas Perempuan memandang, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berdampak tidak hanya kepada korban, tetapi kepada masyarakat dan kualitas sumber daya manusia.
“Korban-korban kekerasan seksual umumnya tidak akan mampu setara dengan laki-laki, baik karena hambatan menyelesaikan pendidikan, maupun hambatan untuk kembali pulih,” papar Aminah.
Kampus adalah lingkungan yang mencatatkan kasus kekerasan seksual tertinggi di sektor pendidikan, yaitu 35 persen. Dalam 294 kasus dengan relasi kuasa di bidang pendidikan, 77 persen pelakunya adalah dosen, guru, kepala sekolah atau mereka yang berada dalam posisi serupa, yang menandakan adanya relasi kuasa.
“Inilah yang menjadi keprihatinan kita. Kampus atau dunia pendidikan harus memperhatikan dan memahami konteks relasi kuasa, antara peserta didik dengan guru atau penyelenggara pendidikan,” tambahnya. [ns/ab]