Organisasi perempuan Muhammadiyah ikut serta dalam memberikan sejumlah masukan terhadap Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang minggu lalu baru saja disetujui oleh DPR sebagai RUU inisiatif DPR.
Dalam acara diskusi Peran Negara dan Muhammadiyah dalam Upaya Perlindungan terhadap perempuan dan Anak pada Selasa (25/1), Ketua Majelis Hukum dan HAM Pengurus Pusat Aisyiyah, Dr Atiyatul Ulya, menyampaikan tiga hal dari sejumlah masukan Aisyiyah terkait RUU TPKS.
“Dalam diskusi berkembang bahwa ternyata dari RUU TPKS ini masih butuh beberapa perbaikan-perbaikan. Misalnya terkait dengan rumusan definisi. Rumusan definisi kekerasan seksual yang ada dalam RUU TPKS ini masih perlu didiskusikan kembali, karena definisi yang sekarang ada ini susah dipahami,” kata Ulya.
Ia menambahkan bahwa definisi yang sulit dipahami akan menimbulkan kesulitan dalam pengimplementasian dari aturan yang berlaku nanti.
“Dalam RUU TPKS ini, beberapa pasal itu sulit diimplementasikan di lapangan. Kemudian masih juga banyak ketentuan hukum acara pidana yang harus diperjelas, terutama misalnya yang berkaitan dengan pembuktian dan saksi. Dan tentu saja ini nanti akan berdampak pada terhentinya (pengusutan) perkara kekerasan seksual di lapangan,” kata Ulya.
Sebagai organisasi perempuan, Aisyiyah memiliki komitmen dan pengalaman panjang dalam membela perempuan, khususnya dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Jika ketentuan hukumnya tidak jelas, menurut Ulya, para pembela hukum di lapangan ketika melakukan pendampingan hukum terhadap korban, akan menemui hambatan. Apalagi, kenyataannya, sampai saat ini perspektif aparat penegak hukum sendiri belum tentu berpihak kepada korban.
“Misalnya, nanti sudah didampingi sedemikian rupa, tiba-tiba dicabut oleh korban sendiri, karena berbagai pertimbangan. Kemudian juga pada persoalan bukti, saksi, ini juga ada beberapa kendala yang dijumpai temen-temen Pos Bantuan Hukum di Aisyiyah ketika melakukan pendampingan di lapangan,” urai Ulya.
Perhatian pada Isu Asusila
Catatan lain juga diberikan Aisyiyah, dan menurut mereka penting, yaitu bahwa RUU TPKS belum mengatur aktivitas seksual, terutama yang dilakukan di luar hubungan pernikahan yang sah.
“Aktivitas seksual yang dilakukan di luar hubungan pernikahan yang sah sangat-sangat meresahkan masyarakat, terutama kita sebagai warga Muhammadiyah dan Aisyiyah, sangat resah dengan kondisi ini,” tambahnya.
Karena memandang penting isu tersebut, Aisyiyah sebagai organisasi keagamaan, berharap negara menyusun dasar hukum tersendiri, di luar RUU TPKS yang sudah ada. Salah satu faktor yang mendasari usulan itu adalah fakta, bahwa permohonan dispensasi usia pernikahan saat ini naik sebesar 300 persen.
Data menunjukkan, ada dua alasan dalam permohonan dispensasi itu yaitu tindakan preventif dari orang tua atau kehamilan di luar nikah. Alasan kedua ini, menurut Aisyiyah, jumlahnya lebih tinggi.
“Nanti pada pernikahan di usia anak, tidak sedikit ketika itu dilakukan, mereka setelah melahirkan kemudian melakukan perceraian. Ini menimbulkan persoalan-persoalan baru terutama bagaimana kelangsungan anak-anak yang sudah dilahirkan,” tandas Ulya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Gunawan Budiyanto, satu suara dengan Ulya terkait pentingnya aturan hukum mengenai tindakan asusila.
“Muhammadiyah tetap konsen kepada mencegah kemungkaran dalam bentuk tindakan-tindakan asusila. Kekerasan seksual kepada perempuan dan kekerasan seksual kepada anak, itu hanyalah bagian kecil dari concern Muhammadiyah untuk memberantas tindakan-tindakan asusila. Dan kekerasan seks tentunya berada di dalamnya,” ujar Gunawan.
Pada November lalu, Muhammadiyah sendiri menolak Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 soal Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dalih Muhammadiyah saat itu adalah, peraturan tersebut mengandung substansi yang dapat melegalkan perbuatan asusila dan seks bebas.
Pemerintah Pastikan Komitmen
Berbicara dalam diskusi yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati memastikan pemerintah tegas menangani kasus kekerasan seksual.
“Termasuk mendorong terbentuknya payung hukum dalam bentuk undang-undang, yaitu RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sebagai upaya pembaharuan hukum yang komprehensif, di tengah sistem hukum Indonesia yang belum secara sistematik dan menyeluruh, mampu mencegah, melindungi, memulihkan dan memberikan akses pemberdayaan bagi korban kekerasan seksual,” kata Bintang.
Berbicara data yang masuk, Bintang mengatakan laporan kasus kekerasan, khususnya kekerasan seksual meningkat selama pandemi COVID -19.
“Data Simfoni PPPA menunjukkan, sepanjang 2021 terdapat 10.368 perempuan korban kekerasan, di mana 11,6 persennya adalah korban kekerasan seksual. Data ini menjadi lebih memprihatinkan pada anak-anak, dimana dari 15.971 anak korban kekerasan, 45,1 persen merupakan korban kekerasan seksual,” papar Bintang.
Lebih memprihatinkan lagi, kata Bintang, angka-angka yang dia sebutkan itu, belum menggambarkan fenomena yang sebenarnya. Kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, dimana permasalahan yang terjadi lebih kompleks dan lebih besar, dari apa yang terlihat di permukaan, lanjut Bintang.
Namun, satu peningkatan itu juga membawa makna positif. Menurut Bintang, angka itu naik karena meningkatnya keberanian korban untuk berbicara, mengungkap kasus kekerasan yang menimpanya.
“Kami juga memastikan terbentuknya kelembagaan di daerah, yang berkontribusi langsung dalam perlindungan perempuan dan anak,” ujar Bintang. [ns/rs]