Sudah lebih dari lima bulan berlalu sejak seorang anak laki-laki berusia 13 tahun yang pemalu, diculik, diseret ke luar rumah dan diperkosa pada tengah malam. Anak itu hingga kini belum bisa bercerita banyak tentang apa yang terjadi.
“Saya tidak mengingat banyak hal,” ujar Batista sambil menatap nanar lantai kotor yang didudukinya di sebuah klinik darurat di salah satu kamp pengungsi di kota Wau, Sudan Selatan. Demi melindungi identitas anak tersebut, kantor berita Associated Press hanya menyebut nama awalnya saja.
Laporan baru yang dirilis Amnesti Internasional menunjukkan penganiayaan seksual terjadi dalam ‘’skala masif’’ selama perang saudara selama empat tahun di Sudan Selatan. Ribuan perempuan, anak dan sejumlah laki-laki tutup mulut terhadap apa yang mereka hadapi, sambil mengatasi masalah mental yang diderita. Sebagian diantara mereka bahkan kini menderita HIV.
Laporan itu didasarkan pada wawancara atas 168 korban penganiayaan seksual di Sudan Selatan dan di beberapa kamp pengungsi di Uganda, negara yang mengalami peningkatan jumlah kamp pengungsi tercepat di dunia.
Sebagian serangan seksual itu tidak terjadi dalam konflik tetapi dalam kamp penampungan jutaan orang akibat konflik.
Batista mengatakan ia diperkosa Desember lalu oleh seorang laki-laki berusia 45 tahun yang kerap dilihatnya di kamp pengungsi yang dikelola oleh PBB. Namun baru Mei lalu anak malang itu meminta bantuan psikososial. Beberapa warga kamp itu mengatakan Batista menutup rapat insiden itu, padahal ia sangat membutuhkan pertolongan.
Tahun lalu PBB melaporkan terjadinya peningkatan aksi kekerasan berdasarkan gender hingga 60% di Sudan Selatan, dimana 70% perempuan di kamp-kamp penampungan PBB di ibukota Juba telah diperkosa sejak terjadinya perang saudara pada Desember 2013.
‘’Ini merupakan aksi kekerasan seksual yang direncanakan. Perempuan telah diperkosa beramai-ramai, diserang secara seksual dengan benda tumpul dan dimutilasi dengan pisau,” ujar Muthoni Wanyeki – Direktur Amnesti Internasional Untuk Afrika Timur. Para korban dibiarkan hidup dengan “konsekuensi yang membuat mereka tidak berdaya dan berubah total” dan banyak yang dijauhi oleh keluarganya.
Laporan baru itu mewawancarai 16 laki-laki yang menjadi korban, dimana sebagian mengatakan mereka telah dikebiri atau testis mereka ditusuk dengan jarum.
“Sejumlah serangan tampaknya dirancang untuk meneror, merendahkan martabat dan mempermalukan korban; dan dalam beberapa kasus bertujuan agar orang-orang dari kelompok politik pesaing mereka tidak bisa memiliki keturunan,” ujar Wanyeki.
Komisi PBB Untuk HAM di Sudan Selatan dan beberapa negara lain di Afrika mengatakan pasukan pemerintah dan oposisi sama-sama menggunakan perkosaan sebagai senjata perang karena berdasarkan budaya mereka hal ini akan menimbulkan stigma yang sangat buruk.
Pemerintah Sudan Selatan mengutuk serangan seksual dan berjanji “akan bergerak cepat untuk melindungi warga sipil dari tingkat laku semacam itu dengan memberikan pendidikan kepada seluruh personil pasukan bersenjata dan menyeret pelakunya yang muka hukum,” ujar juru bicara sementara pemerintah Choul Laam kepada Associated Press.
Tetapi para korban yang melaporkan penyerang mereka pada pihak berwenang jarang mendapat keadilan.
Batista misalnya, setelah anak laki-laki itu melaporkan pelaku pada polisi, pelaku hanya ditangkap selama beberapa hari dan kemudian dibebaskan. (em)